Jumat, 08 Juni 2012

Tafsir Fi dzilal al-Qur'an _Kajian Kitab_

Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an A. Biografi Sayyid Qutb Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir. Ayahnya bernama al-Hajj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu. Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1921 Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah.Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana muda dalam bidang sastra sekaligus diploma pendidikan pada tahun 1933 M. Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas tersebut. Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran Mesir, hingga akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Qutb bekerja dalam Kementerian tersebut hanya beberapa tahun saja.Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak cocokan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang pendidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris. Pada waktu bekerja dalam pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikan. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California. Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkembang di Amerika, Sayyid Qutb melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual. Setelah kepulangannya dari Barat inilah, beliau bergabung dengan gerakan Ikhwan al Muslimin yang pada saat itu dipimpin oleh Hasan al-Banna. Setelah Hasan al-Banna wafat, beliau menjadi tokoh yang sangat berpengaruh bahkan beliau menjadi pensyarah ideologi Ikhwan al-Muslimin. Beliau juga seorang yang aktif dalam menulis. Tulisannya tidak hanya beredar di negara Islam akan tetapi juga banyak beredar di kawasan Eropa, Afrika, Asia dan Amerika. Dimana terdapat pengikut Ikhwan al-Muslimin disitu dapat dipastikan terdapat buku-buku Quthb. Diantara kitab-kitabnya sebagai berikut:Muhimmatus Sya’ir fi Hayah wa Syi’r al-jail al-hadhir (terbit tahun 1933), As-Syathi’ al-Majhul (satu-satunya kumpulan sajak Sayyid Quthub yang terbit pada februari 1935), “Mustaqbal Ats-Tsaqofah di Mishr” li ad-Duktur Thaha Husain (terbit tahun 1939), At-Taswir al-Fanni fil-Qur’an (buku Islam pertama Sayyid Quthub, terbit tahun 1945), Al-Athyaf al-Arba’ah (buku ini ditulis bersama saudaranya Aminah, Muhammad dan Hamidah dan terbit tahun 1945), Ahifl min Al-Qoryah (buku ini berisi tentang gambaran desanya dan catatan masa kecilnya di desa, buku ini terbit tahun 1946), Al-Madinah al-Manshurah (sebuah kisah khayalan semisal kisah seribu satu malam, terbit tahun 1946), Kutub wa Syakhsyiyat (sebuah studi Sayyid Quthub terhadap karya pengarang lain, terbit tahun 1946), Asywak (terbit tahun 1947), Masyahid al-Qiyamah fil-Qur’an (bagian kedua dari serial pustaka baru Al-Qur’an, terbit pada April 1947), Raudhotut Thifl (ditulis bersama Aminah dan Yusuf Murad, terbit dua episode), Al-Qashash ad-Diniy (ditulis bersama Abdul Hamid Jaudah as-Sahhar), Al-Jadid fi al-Lughah al-‘Arabiyah dan Al-Jadid fi al-Mahfuzhat (keduanya ditulis bersama penulis lain), Al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islami (buku pertama sayyid Quthub tentang pemikiran Islam, terbit tahun 1949),Ma’rakah al-Islam wa Ar-Ra’simaliyyah (terbit taahun 1951), As-Salam Al-Islami wa al-Islam (terbit oktober 1951), fi dzilalil Qur’an (cetakan pertama juz pertama terbit pada oktober 1952), Dirasah Islamiyyah (kumpulan berbagai macam artikel yang dihimpun oleh Muhibuddin al-Khatib, terbit 1953), Al-Mustaqbal li Hadza ad-Din (buku penyempurna dari buku Hadza ad-Din), Khashasish at-Tashawwur al-Islami wa Muqowwimatuhu (buku sayyid Quthub yang mendalam yang dikhususkan untuk membicarakan karakteristik akidah dan unsur dasarnya), Al-Islam wa Musykilat al-Hadharah, Ma’alim fith-Thariq. Sedangkan studinya yang bersifat keislaman harakah yang matang, yang menyebabkan ia dieksekusi (dihukum penjara) adalah sebagai berikut: Ma’alim fith Thariq, Fi zhilalil as-Shirah, Muqowwimat at-Tashawwur al-Islami, fi Maukib al-Iman, Nahwu Mujtama’ Islami, Hadza al-Qur’an, Awwaliyat li Hadza ad-Din, Tashwibat fi al-fikri al-Islami atMuashir. Buku pertama sayyid Quthub yang berbicara tentang Islam adalah at-Tashwir al-Fanni fil Qur’an. Di dalam buku ini sayyid Quthub menuliskan tentang karakteristik-karakteristik umum mengenai keindahan artistic dalam al-Qur’an . Sayyid Quthub mendefinisikan ilustrasi artistic (at-Tashwir al-Fanni fil Qur’an) sebagai berikut: “ia adalah sebuah instrument terpilih dalam gaya al-Qur’an yang memberikan ungkapan dengan suatu gambaran yang dapat dirasakan dan dikhayalkan mengenai konsep akal pikiran, kondisi jiwa, peristiwa nyata, adegan yang ditonton, tipe manusia dan tabiat manusia. Kemudian ia meningkat dengan gambaran yang dilukiskan itu untuk memberikan kehidupan yang menjelma atau aktivitas yang progresif. Dengan demikian, tiba-tiba konsepsi akal pikiran itu muncul dalam format atau gerak. Kondisi kejiwaan tiba-tiba menjadi sebuah pertunjukan. Model atau tipe manusia tiba-tiba menjadi suatu yang menjelma dan hidup dan tabiat manusia seketika menjadi dapat terbentuk dan terlihat nyata. Berbagai adegan, kisah, dan perspektif ditampilkan dalam sebuah wujud yang muncul. Di dalamnya terdapat kehidupan dan juga gerak. Jika ditambahkan lagi dengan sebuah dialog, maka menjadi lengkaplah semua unsur-unsur imajinasi itu” B. Prinsip Dasar Pemikiran Sayyid Qutb Dalam pandangannya, Islam adalah way of life yang komprehansif. Islam adalah ruh kehidupan yang mengatur sekaligus memberikan solusi atas problem sosial-kemasyarakatan. Al-Qur`an dalam tataran umat Islam dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum maupun mengatur pola hidup masyarakat karena telah dianggap sebagai prinsip utama dalam agama Islam, maka sudah menjadi sebuah keharusan jika al-Qur`an dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Berdasar atas asumsi itulah, Sayyid Qutb mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an agar dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan. Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan kepada tatanan kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam al-Quran. Sayyid Quthb mengatakan dalam muqadimah tafsirnya: “Sesungguhnya, manusia yang diciptakan Allah ini tidak dapat membuka gembok-gembok fitrahnya kecuali dengan menggunakan kunci ciptaan Allah, dan tidak akan dapat mengobati penyakit-penyakit fitrah itu kecuali dengan obat yang dibikin oleh tangan Allah. Allah telah menjadikan manhaj-Nya sebagai kunci gembok dan obat bagi semua penyakitnya , akan tetapi, manusia tidak ingin mengembalikan gembok ini pada penciptanya, tidak ingin membawa si sakit kepada pencitanya, tidak mau menempuh jalan sesuai dengan urusan dirinya, urusan kemanusiaannya, dan mana urusan yang sekiranya membawanya bahagia atau sengsara.” Dengan demikian jika manusia menginginkan sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam mengarungi kehidupan dunia ini harus mengembalikan segala permasalahannya pada tata cara yang telah Allah terangkan dalam al-Qur’an. Meski tidak dipungkiri bahwa al-Qur`an telah diturunkan sejak berabad-abad lamanya di zaman Rasulullah dan menggambarkan tentang kejadian masa itu dan sebelumnya sebagaimana yang terkandung dalam Qashash al-Qur`an, namun ajaran-ajaran yang dikandung dalam al-Qur`an adalah ajaran yang relevan yang dapat diterapkan di segala tempat dan zaman. Maka, tak salah jika kejadian-kejadian masa turunnya al-Qur`an adalah dianggap sebagai cetak biru perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya. Dan tidak heran jika penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan oleh ulama klasik perlu disesuaikan kembali dalam masa sekarang. Berangkat dari itu, Sayyid Qutb mencoba membuat terobosan terbaru dalam menafsirkan al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat dan kemudian meluruskan apa yang dianggap tidak benar yang tejadi dalam realita tersebut. C. Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an 1. Latar Belakang Penulisan Tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân Kondisi Mesir kala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan Juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik. Oleh karenanya, tak heran memang jika kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya lebih cenderung mengangkat terma sosial-kemasyarakatan. Salah satu karya terbesar beliau yang sangat terkenal adalah karya tafsir al-Qur`an yang diberi nama Fî Zhilâl al-Qur`ân. Tafsir ini lebih cenderung membahas tentang logika konsep negara Islam sebagaimana yang didengungkan oleh pengikut Ikhwan al-Muslimin lainnya seperti halnya Abu al-A’la al-Maududi. Secara singkat, sebenarnya Sayyid Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaktur majalah al-Muslimûn yang ia terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Qutb untuk mengisi rubrik khusus mengenai penafsiran al-Qur`an yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan. Sayyid Qutb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik itu yang kemudian diberi nama Fî Zhilâl al-Qur`ân. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah, lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah. Namun, hanya beberapa edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Qutb berinisiatif menghentikan penulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl al-Qur`ân (di bawah naungan al-Qur’an), sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh. Karya beliau lantas dicetak dan didistribusikan oleh penerbit al-Bâb al-Halabi. Akan tetapi penulisan tafsir tersebut tidak langsung serta merta dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan sekali, meski ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam tahanan. Adapun tujuan-tujuan Sayyid Quthb menuliskan Tafsir fi Zhilal menurut al-Khalidi adalah: Pertama, menghilangkan jurang yang dalam antara kaum Muslimin sekarang ini dengan al-Qur’an. Quthb menyatakan, “Sesungguhnya saya serukan kepada para pembaca Zhilal, jangan sampai Zhilal ini yang menjadi tujuan mereka. Tetapi hendaklah mereka membaca Zhilal agar bisa dekat pada al-Qur’an. selanjutnya agar mereka mengambil al-Qur’an secara haqiqi dan membuang Zhilal ini.” Kedua, mengenalkan kepada para muslimin sekarang ini pada fungsi amaliyah harakiyah al-Qur’an, menjelaskan karakternya yang hidup dan bernuansa jihad, memperlihatkan kepada mereka mengenai metode al-Qur’an dalam pergerakan dan jihad melawan kejahiliyahan, menggariskan jalan yang mereka lalui dengan mengikuti petunjuknya, menjelaskan jalan yang lurus serta meletakkan tangan mereka di atas kunci yang dapat mereka gunakan untuk dapat mengeluarkan perbendaharaan-perbendaharaan yang terpendam. Ketiga, membekali orang Muslim sekarang ini dengan petunjuk amaliyah tertulis menuju ciri-ciri kepribadian Islami yang dituntut, serta menuju ciri-ciri Islami yang Qur’ani. Keempat, mendidik orang muslim dengan pendidikan Qur’ani yang integral; membangun kepribadian Islam yang efektif, menjelaskan karakteristik dan ciri-cirinya, faktor pembentukan dan kehidupannya. Kelima, menjelaskan ciri-ciri masyarakat Islami yang dibentuk oleh al-Qur’an, mengenalkan asas-asas yang menjadi pijakan masyarakat Islami, menggariskan jalan yang bersifat gerakan dan jihad untuk membangunnya. Dakwah secara murni untuk menegakkannya, membangkitkan hasrat para aktifis untuk meraih tujuan ini, menjelaskan secara terperinci mengenai masyarakat Islami pertama yang dijadikan oleh Rasulullah saw. di atas nash-nash al-Qur’an, arahan-arahan, dan manhaj-manhajnya sebagai bentuk nyata yang bisa dijadikan teladan, misal, dan contoh bagi para aktifis. 2. Sistematika dan ciri-ciri Tafsir Fi Dhilal al-Qur’an Sayyid Qutb menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat, surat demi surat, dari juz pertama sampai juz terakhir, dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nass atau biasa disebut tafsir tahlili. Ia memulai penafsiran suatu surat dengan memberikan gambaran ringkas kandungannya. Dalam permulaan surat al-Fatihah misalnya, Sayyid Qutb mengemukakan bahwa surat ini mengandung prinsip-prinsip akidah Islam, konsep-konsep dan pengarahan-pengarahannya yang mengidentifikasikan hikmah dipilihnya surat ini menjadi bacaan yang diulang-ulang dalam setiap rakaat shalat. Setelah itu memerinci penafsiran ayat demi ayat dan begitu seterusnya. Dalam menafsirkan surat-surat panjang, Sayyid Qutb mengelompokkan sejumlah ayat sebagai suatu kesatuan, sesuai dengan kandungan pesan-pesannya. Dalam menafsirkan surat al-Baqarah misalnya, ia menetapkan ayat pertama sampai ayat ke 29 sebagai bagian pertama pembahasan. Dilanjutkan dengan menafsirkan ayat 30 sampai ayat ke 39, ayat 40 sampai dengan ayat 74, ayat 75 sampai ayat 103 dan seterusnya. Uraiannya tiap kelompok ayat diakhiri dengan kesimpulan. Adapun ciri-ciri penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an antara lain sebagai berikut: a) Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an Sayyid Qutb menafsirkan ayat dengan menggunakan ayat al-Qur’an sebagai penjelas. Misalnya ketika menafsirkan Maaliki Yaum al-din, ia mengutip surat al-Luqman: 25 b) Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan Hadits Sayyid Qutb menggunakan hadits-hadits Nabi saw sebagai penjelas ayat. Sebagian dengan menyebutkan perawi pertama dan terakhir, misalnya tentang ayat: Al hamdulillahirabbil ‘Alamiin riwayat Ibnu Majah dari Ibn Umar. Terkadang hanya menyebutkan perawi terakhirnya, semisal hadits tentang keharusan membaca fatihah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. c) Menggunakan perkataan sahabat dan ulama’ terdahulu Sayyid Qutb melengkapi tafsirnya dengan perkataan sahabat, misalnya perkataan Ibn Abbas tentang syirik dalam mengulas al-Baqarah: 22. Sayyid Qutb juga mengutib pendapat ulama’ terdahulu, misalnya tafsir Ibn Katsir tentang peristiwa Bai’ah, Aqabah dalam pendahuluan tafsir surat al-Taubah. d) Menggunakan sumber informasi dari tradisi-tradisi luar Islam Sayyid Qutb menggunakan perjanjian lama untuk melengkapi penafsirannya, ketika menggambarkan sifat Allah yang pengasih dan penyayang dibandingkan dengan sifat Tuhan Olympus yang kejam dalam tradisi Yunani. Ia juga mengutip konsepsi agama lain sebagai bahan perbandingan dengan konsepsi Islam, misalnya tentang kesalahan dan konsep taubat dari dosa menurut keyakinan Nashrani, yesus disalib untuk menebus dosa anak Adam. e) Melengkapi penafsirannya dengan data historis Sayyid Qutb menekankan analisis situasi Arab saat al-Qur’an diturunkan. Dalam pendahuluan tafsir al-Baqarah, ia menguraikan tentang latar belakang hijrah. Ketika menafsirkan al-Baqarah 85-86, ia menguraikan tentang pembawaan suku Aus dan Khazraj yang bermusuhan sejak dahulu. Ia juga mengemukakan riwayat sabab nujul ayat, misalnya ketika menjelaskan kandungan surat al-Anfal:5-8. f) Menekankan analisis munasabah Sayyid Qutb menekankan analisis keseimbangan dan keserasian dalam surat, misalnya uraian tentang Nabi Musa yang diikuti dengan uraian tentang bani Israil, persesuaian antara pembukaan surat dengan penutupnya seperti tampak dalam surat al-Baqarah yang mengutarakan sifat-sifat orang beriman dan karakteristik iman. g) Menekankan ketelitian analisis bahasa terhadap redaksi ayat Sayyid Qutb menekankan segi-segi artistik rangkaian ayat-ayat al-Qur’an, misalnya tentang situasi yang meliputi orang-orang kafir dalam al-Baqarah ayat 17-20, tentang diresapkannya dalam hati kecinbtaan terhadap anak lembu dalam al-baqarah: 93. h) Menekankan pentingnya iman dan dakwah Sayyid Qutb menekankan pentingnya iman dan dakwah untuk menempuh jalan hidup orang-orang muttaqin pada akhir pengantar al-Baqarah dan akhir pembahasan kelompok ayat 1-29. Dalam wilayah iman, Sayyid Qutb berhenti menafsirkan hal-hal ghaib, tanpa lebih jauh berspekulasi mengenai hakikat sesuatu yang ghaib itu, misalnya tentang surga tempat tinggal Adam sebelum sebelum turun kebumi dalam al-Baqarah: 36. Ia juga mengkritik para mufassir yang terjebak pada pembicaraan masalah prima kausa, qadim dan kekal ketika membahas ayat tentang istiwa’ pada surat al-Baqarah ayat 29, kun fayakun pada surat al-Baqarah ayat 117. Ia juga mengkritik para ahli ahkam dan filsafat yang berusaha menyelami dan menakwilkan ayat-ayat tentang hal-hal ghaib diatas. i) Menekankan analisis rasional Sayyid Qutb menekankan analisis rasional dalam memahami ayat, misalnya tentang sihir dalam al-Baqarah: 102-103. Qutb menulis bahwa sihir yang dapat memisahkan antara suami dan istri terjadi karena izin Allah. Sihir terjadi disetiap waktu dimana sebagian manusia memiliki spesialisasi yang substansinya belum dapat dijabarkan oleh ilmu pengetahuan. Sihir menyerupai hipnotis dan telepati yang termasuk dalam dunia abstrak. Sungguh berlawanan dengan realitas jika seseorang bersikap apriori, tidak percaya kepada kekuatan ghaib semisal sihir, hal tersebut semata-mata karena tidak adanya petunjuk dari ilmu pengetahuan. j) Mengaitkan penafsiran ayat dengan konteks zamannya Sayyid Qutb mengaitkan penafsiran ayat dengan konteks hidupnya. Misalnya surat al-Baqarah: 116-117, ia menulis bahwa kesesatan pemikiran Yahudi dan Nashrani tentang ketuhanan dan penyelewengan mereka dari tauhid adalah sama dengan keyakinan kaum musyrik Arab. Pertengkaran Ahli Kitab Nashrani tentang Al-Masih maupun kalangan Yahudi tentang Uzair terus berlangsung dalam bentuk zionisme, salibisme dan komunisme internasional yang jauh lebih kafir daripada kaum musyrik Arab pada masa itu. 3. Corak Penafsiran Sayyid Qutb Bisa dikatakan kitab Fî Zhlilâl al-Qur`ân yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah satu kitab tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam melakukan penafsiran al-Qur`an. Hal ini dikarenakan tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan Islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan al-Qur`an. Termasuk di antaranya adalah melakukan pembaharuan dalam bidang penafsiran dan di satu sisi beliau mengesampingkan pembahasan yang dirasa kurang begitu penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsiran beliau adalah mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan al-Qur`an. Sisi sastra beliau terlihat jelas ketika kita menjulurkan pandangan kita ke tafsirnya, bahkan dapat kita lihat pada barisan pertama. Akan tetapi, semua pemahaman ushlûb al-Qur`ân, karakteristik ungkapan serta dzauq yang diusung semuanya bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an dan pokok-pokok ajarannya, yang ditujukan untuk memberikan pendekatan pada jiwa para pembacanya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan Allah dapat memberikan manfaat serta hidayah-Nya. Karena pada dasanya, hidayah merupakan hakikat dari al-Qur`an itu sendiri. Hidayah juga merupakan tabiat serta esensi al-Qur`an. Menurutnya, al-Qur`an adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit serta ajaran kehidupan dan Allah telah menjadikannya sebagai kunci bagi setiap sesuatu yang masih tertutup dan obat bagi segala penyakit. Pandangan seperti ini beliau sarikan dari firman Allah yang berbunyi, “Dan kami turunkan dari al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman...” dan firman Allah; “Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus...”. Sejak pada barisan pertama dalam kitab tafsirnya, Sayyid Qutb sudah menampakkan karakterisktik seni yang terdapat dalam al-Qur`an. Dalam permulaan surat al-Baqarah misalnya, akan kita temukan gaya yang dipakai al-Qur`an dalam mengajak masyarakat Madinah dengan gaya yang khas dan singkat. Dengan hanya beberapa ayat saja dapat menampakkan gambaran yang jelas dan rinci tanpa harus memperpanjang kalam yang dalam ilmu balaghah disebut dengan ithnâb, namun di balik gambaran yang singkat ini tidak meninggalkan sisi keindahan suara dan keserasian irama. Mengenai klasifikasi metodologi penafsiran, Dr. Abdul Hay al-Farmawy seorang guru besar Tafsir dan Ilmu-ilmu al-Qur`an Universitas al-Azhar membagi corak penafsirkan al-Qur`an menjadi empat bentuk; yaitu tahlîly, maudhû’i, ijmâli dan muqârin. Dilihat dari corak penafsiran yang terdapat yang tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân dapat digolongkan ke dalam jenis tafsir tahlîli. Artinya, seorang penafsir menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf. Menurut Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri al-Qur`an adalah pendekatan tashwîr (deskriptif) yaitu suatu gaya penafsiran yang berusaha menampilkan pesan al-Qur`an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb, qashash yang terdapat dalam al-Qur`an merupakan penuturan drama kehidupan yang senantiasa terjadi dalam perjalanan hidup manusia. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia. Dengan demikian, segala pesan yang terdapat dalam al-Qur`an akan selalu relevan uuntuk dibawa dalam zaman sekarang. Mengaca dari metode tashwîr yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân dapat digolongkan ke dalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastra-budaya dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur`an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi. D. Contoh penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân { أم حسبتم أن تدخلوا الجنة ، ولما يعلم الله الذين جاهدوا منكم ويعلم الصابرين . ولقد كنتم تمنون الموت من قبل أن تلقوه . فقد رأيتموه وأنتم تنظرون } . . إن صيغة السؤال الاستنكارية يقصد بها إلى التنبيه بشدة إلى خطأ هذا التصور : تصور أنه يكفي الإنسان أن يقولها كلمة باللسان : أسلمت وأنا على استعداد للموت . فيبلغ بهذه الكلمة أن يؤدي تكاليف الإيمان وأن ينتهي إلى الجنة والرضوان! إنما هي التجربة الواقعية والامتحان العملي . وإنما هو الجهاد وملاقاة البلاء ثم الصبر على تكاليف الجهاد وعلى معاناة البلاء . وفي النص القرآني لفتة ذات مغزى : { ولما يعلم الله الذين جاهدوا منكم } . . { ويعلم الصابرين } . . فلا يكفي أن يجاهد المؤمنون . إنما هو الصبر على تكاليف هذه الدعوة أيضاً . التكاليف المستمرة المتنوعة التي لا تقف عند الجهاد في الميدان . فربما كان الجهاد في الميدان أخف تكاليف هذه الدعوة التي يُطلب لها الصبر ويختبر بها الإيمان . إنما هنالك المعاناة اليومية التي لا تنتهي : معاناة الاستقامة على أفق الإيمان . والاستقرار على مقتضياته في الشعور والسلوك والصبر في أثناء ذلك على الضعف الإنساني : في النفس وفي الغير ممن يتعامل معهم المؤمن في حياته اليومية . والصبر على الفترات التي يستعلي فيها الباطل وينتفش ويبدو كالمنتصر! والصبر على طول الطريق وبعد الشقة وكثرة العقبات . والصبر على وسوسة الراحة وهفوة النفس لها في زحمة الجهد والكرب والنضال والصبر على أشياء كثيرة ليس الجهاد في الميدان إلا واحداً منها في الطريق المحفوف بالمكاره . طريق الجنة التي لا تنال بالأمانيّ وبكلمات اللسان! { وإلهكم إله واحد لا إله إلا هو الرحمن الرحيم . إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار ، والفلك التي تجري في البحر بما ينفع الناس ، وما أنزل الله من السماء من ماء فأحيا به الأرض بعد موتها وبث فيها من كل دابة ، وتصريف الرياح والسحاب المسخر بين السماء والأرض لآيات لقوم يعقلون . ومن الناس من يتخذ من دون الله انداداً يحبونهم كحب الله ، والذين آمنوا أشد حباً لله . ولو يرى الذين ظلموا إذ يرون العذاب أن القوة لله جميعاً ، وأن الله شديد العذاب . إذ تبرأ الذين اتبعوا من الذين اتبعوا ، ورأوا العذاب وتقطعت بهم الأسباب . وقال الذين اتبعوا : لو أن لنا كرة فنتبرأ منهم كما تبرأوا منا! كذلك يريهم الله أعمالهم حسرات عليهم ، وما هم بخارجين من النار } . . إن وحدة الألوهية هي القاعدة الكبيرة التي يقوم عليها التصور الإيماني . فلم يكن هناك جدل حول الاعتقاد بوجود إله - تختلف التصورات حول ذاته وحول صفاته وحول علاقاته بالخلق ولكنها لا تنفي وجوده - ولم يقع أن نسيت الفطرة هذه الحقيقة ، حقيقة وجود إله ، إلا في هذه الأيام الأخيرة حين نبتت نابتة منقطعة عن أصل الحياة ، منقطعة عن أصل الفطرة ، تنكر وجود الله . وهي نابتة شاذة لا جذور لها في أصل هذا الوجود؛ ومن ثم فمصيرها حتماً إلى الفناء والاندثار من هذا الوجود . هذا الوجود الذي لا يطيق تكوينه ، ولا تطيق فطرته بقاء هذا الصنف من الخلائق المقطوعة الجذور! لذلك اتجه السياق القرآني دائما إلى الحديث عن وحدة الألوهية ، بوصفها التصحيح الضروري للتصور ، والقاعدة الأساسية لإقامة هذا التصور . . ثم لإقامة سائر القواعد الأخلاقية والنظم الاجتماعية ، المنبثقة من هذا التصور . . تصور وحدة الألوهية في هذا الوجود : { وإلهكم إله واحد } . . { لا إله إلا هو } . . { الرحمن الرحيم } . . ومن وحدانية الألوهية التي يؤكدها هذا التأكيد ، بشتى أساليب التوكيد ، يتوحد المعبود الذي يتجه إليه الخلق بالعبودية والطاعة؛ وتتوحد الجهة التي يتلقى منها الخلق قواعد الأخلاق والسلوك؛ ويتوحد المصدر الذي يتلقى منه الخلق أصول الشرائع والقوانين؛ ويتوحد المنهج الذي يصرف حياة الخلق في كل طريق . وهنا والسياق يستهدف إعداد الأمة المسلمة لدورها العظيم في الأرض ، يعيد ذكر هذه الحقيقة التي تكرر ذكرها مرات ومرات في القرآن المكي ، والتي ظل القرآن يعمق جذورها ويمد في آفاقها حتى تشمل كل جوانب الحس والعقل ، وكل جوانب الحياة والوجود . . . يعيد ذكر هذه الحقيقة ليقيم. فمن رحمته السابغة العميقة الدائمة تنبثق كل التشريعات والتكاليف . وهذا الكون كله شاهد بالوحدانية وبالرحمة في كل مجاليه : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir. Sayyid Qutb adalah seorang yang sangat pandai. Pemikiran-pemikiran beliau sangat berpengaruh pada Ikhwan al-Muslimin. 2. Diantara pemikiran penafsiran Sayyid Quthb adalah bahwasanya beliau mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an agar dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan. Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan kepada tatanan kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam al-Quran. 3. Latar belakang penulisan kitab tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân ini secara singkat, sebenarnya berawal dari permintaan rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaktur majalah al-Muslimûn untuk mengisi jurnal, akan tetapi setelah beberapa edisi, beliau memiliki inisiatif untuk menyusunnya menjadi sebuah kitab tafsir. Ada beberapa tujuan penulisan kitab ini, diantaranya yaitu untuk mendekatkan kembali kaum Muslimin dengan al-Qur’an. Adapun mengenai karakteristik dari kitab tafsir ini yang membedakan dengan kitab tafsir yang lain yaitu, kitab ini lebih mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan al-Qur`an. Sedangkan corak penafsiran yang digunakan beliau adalah tahlili. Jika dilihat dari background pendidikan beliau, kitab ini juga memiliki corak adabi ijtima’i. B. Saran Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an merupakan salah satu karya tafsir yang sangat berpengaruh bagi umat Islam. Namun paparan yang kami suguhkan masih sangat terbatas. Untuk itu kami menyarankan kepada pembaca untuk memperkaya pemahaman dan pengetahuan dengan merujuk pada buku-buku lain yang membahas tentang tafsir Fi Zhilal al-Qur’an karya Sayyid Qutb ini. DAFTAR PUSTAKA -------------------. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ihtiyar Baru Van Hoeve, T.T) Chirzin,Muhammad, 2003, “Sayyid Qutb dan Al-Taswir Al-Fanni Fi Al-Qur’an” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta, Fak. Ushuluddin UIN SUKA) Hidayat,Nu’im, 2005, Sayyid Quthb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani) Muhammad, 2001, “Sayyid Qutb Dan Tafsir Fi Dhilal Al-Qur’an” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: fak. Ushuluddin UIN SUKA,), vol.1 Mustaqim,Abdul, 2002, Studi al-Qur’an kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya) Qutb,Sayyid, 1992, Tafsir Fi Dhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syuruq), juz 1 Quthub,Sayyid, 2004, Tafsir fi zilalil Qur’an, Jilid1, PenerjemahAs’ad Yasin Dkk, (Jakarta: Gema Insani Press)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar