Sabtu, 12 Januari 2013

Hadits Orientalis: G.H. A Juynboll

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orientalisme adalah suatu aliran atau paham yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan tentang bangsa-bangsa di timur dan lingkungannya. Sedangkan orientalis adalah ilmuwan barat yang mendalami masalah-masalah ketimuran, yang tercakup di dalamnya tentang bahasa-bahasa kesusastraan, peradaban dan agama-agama. Sudah sejak lama Barat menaruh perhatian besar terhadap kajian-kajian ketimuran, khususnya tentang Islam, dan lebih khusus lagi kajian mereka terhadap al- Qur’an dan Hadis. Perlu disadari, hal tersebut tidak bisa secara serta merta di nilai secara negatif, namun harus kita amati cara berfikir mereka sehingga menemukan penemuan tersebut, meski pada dasarnya kita tidak bisa sepenuhnya menerima hasil temuan mereka karena mereka pun juga mempunyai beberapa tujuan atas penelitian mereka tersebut. Diantara tokoh orientalis yang mengkaji tentang hadits adalah Gautier H. A. Juynboll. Teori yang diusungnya adalah teori Common Link di mana dalam hal ini dia mengaku sebagai pengembang teori yang dicetuskan oleh Joseph Schacht. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara detail tentang teori common link ala Juynboll tersebut. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana posisi Juynboll dalam kajian hadis ? 2. Bagaimana teori common link yang diusung oleh Juynboll? 3. Bagaimana implikasi common link terhadap asal usul dan perkembangan hadits? C. Tujuan Rumusan Masalah 1. Untuk mengetahui posisi Juynboll dalam kajian hadis 2. Untuk mengetahui common link menurut Juynboll beserta komponen-komponen yang ada dalam common link tersebut. 3. Untuk mengetahui implikasi common link terhadap asal usul dan perkembangan hadits. BAB II PEMBAHASAN A. Biografi G. H. A. Juynboll Gautier H. A. Juynboll lahir di Leiden, Belanda pada tahun 1935. Dia adalah seorang pakar di bidang perkembangan awal hadits. Dia memfokuskan diri meneliti hadits dari persoalan klasik hingga kontemporer selama tiga puluh tahun. Kepiawaiannya dalam bidang hadits telah diakui oleh dunia internasional sehingga namanya pantas disejajarkan dengan nama-nama seperti James Robson, Fazlur Rahman, M. M. Azmi dan Michael cook. Ketika Juynboll masih menjadi mahasiswa S1, dia telah bergabung sekumpulan kecil orang untuk mengedit satu karya yang kemudian menghasilkann separo akhir dari kamus hadits, Concordance et indices de la tradition musulmane, tepatnya dari pertengahan huruf ghayn hingga akhir karya tersebut. Pada tahun 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherlands Organization for the Advancement of Pure Research (ZWO), Juynboll tinggal di Mesir untuk melakukan penelitian mengenai pandangan para teolog muslim terhadap literatur hadits. Melalui penelitian tersebut, Juynboll berhasil menyusun disertasi dan berhasil pula mempertahankannya di depan senat, sehingga Juynboll mendapatkan gelar doktoralnya di bidang sastra di fakultas sastra, Universitas Negeri Leiden,Belanda pada kamis, 27 Maret 1969. Disertasinya tersebut diterbitkan oleh penerbit E. J. Brill, Leiden pada tahun 1969, kemudian dia melanjutkan penelitiannya dengan meneliti berbagai persoalan, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Pada tahun 1974, dia menulis sebuah makalah yang berjudul On The Origins of Arabic Prose dan kemudian dimuat dalam buku Studies on the First Century of Islamic Society. Mulai saat itulah, dia memfokuskan diri menulis hadits dan tidak pernah meninggalkannya lagi. Juynboll juga mengajar di beberapa universitas di Belanda selain itu juga menjadi pembimbing para mahasiswa yang sedang menulis tesis dan disertasi, akan tetapi hal tersebut kurang begitu diminatinya. Dia adalah seorang ilmuwan swasta (Private scholar) yang tidak terikat dengan universitas manapun, akibatnya dia tidak memiliki jabatan akademis sebagaimana para ilmuwan besar lainnya. Kegiatannya sehari-hari adalah sebagai daily visitori di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda untuk melakukan penelitian hadits, khususnya di ruang baca koleksi perpustakaan Timur Tengah Klasik (Oriental Reading Room), di bawah seorang supervisor bernama Hans van de Velde. Sebagai seorang ilmuwan dan peneliti bidang hadits, Juynboll telah menghasilkan beberapa karya, baik berupa artikel ataupun buku, sehingga ikut memberikan sumbangan terhadap studi hadits khususnya dan studi Islam pada umumnya. Sebagian besar pemikirannya tentang hadits dan common link dielaborasikan dalam tiga bukunya yaitu The Authenticity of the Tradition Literature: Discussion in Modern Egypt, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, dan Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith. Selain ketiga buku tersebut, Juynboll juga memiliki sejumlah karya dalam bidang hadits dalam bentuk artikel, diantaranya The Date of the Great Fitna, On the Origins of Arabic Prose: Reflections on Authenticity, Shu’bah b. Hajjaj (d. 160/ 776) and His Position Among the Traditionistsb of Basra, dan An Excursus on the Ahl as-Sunna in Connection with Van Ess, Theologie und Gesellschaft, vol IV. Selain itu, karya-karya dalam bidam lain seperti Qur’an, fiqh dan historiografi di antaranya Review of Qur’anic Studies: Source and Methods of Scriptual Interpretation by John Wansbrough, Review of the Sectarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History, Some Thought on Early Muslim Historiography dan New Perspective in the Study of Early Islamic Jurisprudence. B. Posisi Juynboll dalam Studi Hadits Modern di Barat Menurut J. Koren dan Y. D. Nevo, studi mengenai sejarah Islam awal, agama dan kedudukan al-Qur’an sebagai kitab suci di Barat telah berkembang ke arah dua pendekatan, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan revisionis. Pendekatan tradisional yaitu meneliti sumber-sumber Islam dan mengujinya dengan cara-cara yang sesuai dengan asumsi dan tradisi kesarjanaan muslim. Diantara tokoh-tokohnya adalah Fuat Sezgin, Nabia Abbott dan M. M. Azami. Sedangkan pendekatan revisionis yaitu mengkaji sumber-sumber Islam dengan metode kritik sember (source critical methods) serta menganggap sumber-sumber non Arab dan bahan-bahan lain, seperti temuan-temuan arkeologi, epigrafi dan numismatic yang secara umum tidak dikaji oleh aliran tradisional sebagai bukti sejarah. Karya-karya kaum revisionis menawarkan uraian-uraian yang berbeda dan bertentangan tentang penakhlukan Arab dan kemunculan Islam. Mereka cenderung menarik kesimpulan yang mengingkari validitas uraian-uraian historis yang didasarkan pada berbagai fakta dari sumber-sumber Islam. Diantara tokohnya adalah Ignaz Goldziher dan Joseph schacht. Kedua aliran diatas tidak pernah dapat dipertemukan satu sama lain karena aliran yang pertama menggolongkan aliran kedua sebagai aliran yang melakukan studi agama dan literatur, bukan studi sejarah. Dalam hal ini ada dua pendapat tentang kedudukan Juynboll diantara para tokoh pengkaji hadits di Barat. Kedua pendapat tersebut adalah 1. Pendapat yang meletakkan Juynboll dalam aliran revisionis Michael cook memasukkan Juynboll ke dalam aliran revisionis dengan alasan bahwa secara implisit Juynboll merupakan pengikut Schacht dimana Juynboll mengkaji ide-ide Schacht, selain itu juga banyak merujuk kepada karya-karya Schacht khususnya tentang teori Common Link. Junyboll merupakan pengembang dari teori Common Link tersebut dan dalam beberapa hal ia mampu memberikan contoh yang lebih spektakuler daripada Schacht sendiri. Wael B. Hallaq sependapat dengan Cook, menurutnya bahwa dalam sejarah Islam, hadits Nabi pada perkembangannya telah dipalsukan dan secara bertahap telah dikembalikan kepada Nabi, walaupun Juynboll mengembalikan sumber hadits seperempat abad lebih awal daripada Schacht, yakni sekitar tahun 60 hingga 70 H. 2. Pendapat yang meletakkan Juynboll dalam posisi tengah-tengah (midle ground) David S. Powers, menyatakan bahwa Juynboll mencoba memposisikan diri dalam posisi tengah-tengah yaitu diantara orang-orang yang mempercayai otentisitas hadits dan orang-orang yang meragukannya. Pendapat ini didasarkan pada pernyataan Juynboll yang mengakui bahwa hadits yang berisi laporan-laporan yang dinisbatkan kepada Nabi mendekati gambaran tentang perkataan dan perbuatan Nabi secara aktual, namun para ilmuwan hadits belum pernah mengembangkan satu metode yang memungkinkan untuk menunjukkan kesejarahan penyandaran hadits secara tepat. Selain hal tersebut, juga didasarkan pada perkataan Juynboll yang tidak mengingkari jika pengikut Nabi mungkin saja telah membicarakannya pada tahun 40-an dan 50-an hijriah, setelah Nabi meninggal, namun kriteria periwayatan dan informasi mengenai Nabi yang formal dan memenuhi standar, baru dikembangkan pada tahun 670 dan 700 M. Yang sejalan dengan pendapat David S. Powers adalah Herberr Berg dengan mendasarkan bahwa Juynboll disatu sisi enggan menerima implikasi total dari keraguan Goldziher dan Schacht yang membuat ke dalam ketidakpastian. Akan tetapi, disisi lain, Juynboll menolak posisi naif kaum tradisionalis serta menganggap bahwa penggunaan penyandaran sederhana seperti dalam isnad secara historis tidak dapat dipertahankan lagi. Perbedaan pendapat para ilmuwan tentang kedudukan Juynboll dalam studi hadits modern di Barat karena memang dipengaruhi dari sudut pandang yang berbeda. Jika dari segi paradigma, Juynboll diletakkan dalam aliran revisionis. Akan tetapi jika dilihat dari hasil penelitiannya, akan terasa sedikit mampu menjembatani jarak yang sedemikian lebar diantara dua aliran tersebut (Midle Ground). C. Teori Common Link Menurut Juynboll 1. Common Link Konsep common link diperkenalkan oleh Joseph Schacht dalam bukunya yang berjudul TheOrigins of Muhammadan Jurisprudence, di mana buku ini telah menjadi sumber inspirasi penelitian hadis dalam kesarjanaan Barat. Kesimpulan umum Schacht tentang hadis adalah tidak ada hadis yang dapat ditelusuri secara historis sampai kepada nabi. Hal ini didasarkan pada hypothesis bahwa isnads cendrung tumbuh kebelakang (tend to grow backwards), artinya semakin kebelakang semakin sempurna dan panjang jalur isnadnya. Dengan mempelajari secara seksama pertumbuhan isnads dan dengan menganalisa isnads sebuah hadis tertentu, Schacht mencoba mengidentifikasi perawi umum (common transmitter) bagi hadis yang sedang diteliti. Schacht sampai pada kesimpulan bahwa munculnya sebuah common link dalam semua atau hampir semua isnad hadis adalah indikator yang sangat kuat bahwa hadis muncul pada masa common link. Jadi, meskipun karakter isnad yang secara partial palsu, isnad dapat digunakan untuk menemukan pengarang atau author hadis yang diteliti dengan membandingkan isnadnya yang berbeda-beda dan mencari common linknya. Schacht mengajukan lima rule yang harus diterapkan ketika ingin memastikan umur sebuah hadis berdasarkan isnad. 1) isnad yang paling lengkap dan sempurna berarti isnad tersebut paling belakangan munculnya 2) Kalau ada isnad yang berhenti pada level Tabiin disamping isnad yang mencapai otoritas yang lebih tinggi, maka yang terahir adalah sekunder. Ini adalah hasil dari apa yang ia sebut sebagai backwards growth of isnad 3) varian-varian isnad yang muncul dalam sumber-sumber belakangan dengan otoritas atau perawi tambahan adalah palsuan 4) Eksistensi seorang common link penting dalam semua atau hampir semua isnad dari hadis tertentu adalah indikasi sangat kuat bahwa hadis tersebut berasal dari masa common link tersebut 5) Varian-varian isnad yang melewati common link adalah varian belakangan. Meskipun Schacht yang mempopulerkan konsep/teori common link, Schacht tidak mengaplikasikannya secara ekstensif. Salah satu yang mengembangkan konsep common link secara ekstensif adalah Juynboll. Juynboll menangkap konsep/teori common link Schacht secara totalitas, bahkan telah memberinya perspektif baru dan memperluas skopnya, meskipun Juynboll berbeda dari Schacht dalam beberapa poin penting. Juynboll, sebagaimana dengan sarjana Barat yang lain, tidak cendrung menyandarkan sebuah hadis kepada nabi hanya karena hadis tersebut terdapat dalam canonical collection (kutub al-sitta). Dalam beberapa tulisannya, Juynboll seringkali mengemukakan sebuah asumsi dasar yang menjadi pijakannya dalam meneliti hadis serta memperkenalkan beberapa istilah teknis yang relatif baru, yang berhubungan erat dengan teori common link. Juynboll mengungkapkan bahwa semakin banyak jalur periwayaran yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, maka semakin besar pula seorang periwayat dan periwayatannya memiliki klaim kesejarahan. Common link menurut Juynboll adalah istilah untuk seorang periwayat hadis yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seseorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada dua atau lebih muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah ditemukan common link-nya. Selain itu common link adalah originator (pencetus) atau fabricator (pcmalsu) isnad dan matan hadits yang kemudian disebarkan kepada beberapa muridnya. Pada level ini, Juynboll mempertanyakan mengapa jalur isnad itu baru bercabang dari common link. Ia tidak dapat menerima penjelasan yang menyatakan bahwa dunia Islam abad II H./VIII M., penuh sesak dengan periwayatan hadits, di mana beratus-ratus hadits telah dilaporkan oleh pribadi-pribadi tunggal kepada pribadi-pribadi tunggal lain dan pada gilirannya juga disampaikan lagi kepada pri¬badi-pribadi tunggal lain, dan begitu seterusnya. Ia menyadari bahwa sebuah shahifah, model kitab hadits abad pertama, yang berisi sejumlah hadits, disebarkan oleh para penghimpunnya kepada pribadi tunggal yang kemudian menyampaikannya kepada pribadi tunggal berikutnya selama beberapa dekade dari keberadaannya, namun hal ini tidak dapat menjelaskan terjadinya ribuan jalur isndd tunggal yang menyebarkan hadits kepada ribuan jalur isnad tunggal selanjutnya. Menurut Juynboll, hanya ada satu penjelasan mengenai hal ini; bahwa single strand (jalur tunggal) yang merentang dari cl ke bawah hingga nabi tidak merepresentasikan jalur periwayatan sebuah hadits nabi, dan sebagai akibatnya tidak memenuhi ukuran kesejarahan, tetapi hanya sebuah jalur yang diciptakan oleh cl sendiri agar sebuah laporan atau hadits tertentu lebih mendapatkan kewibawaan dan pengakuan di kalangan ahli hadits, lebih-lebih untuk memenuhi kriteria yang pertama dan utama pada saat itu, yakni isnad marfu. Jadi, jika sebagian besar bundel isnad terdiri dari jalur tunggal antara nabi dan cl, dan baru pada level cl hadits itu mulai tersebar ke beberapa murid maka dapat disimpulkan bahwa kescjarahan periwayatan dalam bundel isnad dapat dipercaya hanya setelah penyebaran itu dimulai, yaitu pada level cl dan bukan sebelumnya. Ke-nyataan ini, menurut Juynboll, didukung oleh kenyataan mengenai kronologi sejarah dan perkembangan isnad sebagai sebuah institusi yang baru muncul pada akhir tahun 70-an (abad II H./VIII M.) dan juga oleh data tentang cl tertua dalam literatur hadits yang tidak dapat dibayangkan telah menyebarkan hadits sebelum tahun 80 H./ 699 M. 2. Istilah-Istilah Teknis dalam Common Link Teori common link yang diungkapkan oleh juynboll merupakan sebuah ekstensif dari common link yang telah diungkapkan oleh Schacht. Sebagaimana diungkapkan diatas bahwa Juynboll menangkap konsep/teori common link Schacht secara totalitas, bahkan telah memberinya perspektif baru dan memperluas skopnya, meskipun Juynboll berbeda dari Schacht dalam beberapa poin penting. Dalam teori common link juynboll ada beberapa istilah teknis yang relatif baru diantaranya : a. Partial Common Link Partial Common Link merupakan sebuah istilah bagi periwayat yang menerima hadits dari seorang (atau lebih) guru, yang berstatus sebagai cl atau yang lain, dan kemudian me-nyampaikannya kepada dua orang murid atau lebih. Semakin banyak pcl memiliki murid yang menerima hadits darinya maka semakin kuat pula hubungan guru dan murid dapat dipertahankan sebagai hubungan yang historis. Dalam hal ini, pcl bertanggung jawab atas pcrubahan yang terjadi pada teks asli (protoversion). Baik dalam bentuk melengkapi atau mengurangi; meringkas atau memperluas kalimat yang terdapat dalam teks {matan) asli. Lebih dari itu, pcl sering kali meringkas anekdot historis menjadi semboyan hukum, pendapat juridis, diktum etika maupun moral. Singkatnya, periwayat yang menjadi pcl telah memainkan peranan yang sangat krusial dalam perubahan matan hadits asli menjadi versi yang pada akhirnya terhimpun dalam berbagai koleksi hadits. b. Inverted Partial Common Link Inverted Partial Common Link merupakan istilah bagi periwayat yang menerima laporan lebih dari seorang guru dan kemudian menyampaikannya kepada (jarang lebih dari) seorang murid. Sebagian besar ipcl muncul pada level yang lebih belakangan dalam bundel isnad tertentu dan dalam bundel isnad yang lain terkadang mereka berganti peran sebagai pcl. c. Single Strand dan Diving Single Strand merupakan jalur periwayatan tunggal antara common link dan nabi. Sedangkan diving merupaka istilah bagi jalur isnad independen dari seorang periwayat yang, karena merasa tidak puas dengan jalur isnad yang dimiliki, melangkahi dan sekaligus mcnghindari cl, dan kemu¬dian bertemu dengan isnad lainnya yang lebih dalam pada thabaqah (tingkatan) tabiin atau sahabat. Jalur-jalur penyelam, menurut Juynboll, merupakan fenomena yang baru muncul pada masa yang relatif belakangan dan bcrasal dari akhir abad kedua hijriah, yakni sekitar tahun 180 H. Jalur penyelam ini terbagi men¬jadi tiga macam: pertama, jalur penyelam yang berakhir pada tabiin awal. Ini adalah jalur penyelam tertua bila dibandingkan dengan jalur penyelam lainnya, namun lebih muda dibanding dengan jalur-jalur yang tidak menyelam di bawah cl, tetapi berakhir pada cl. Kedua, jalur penyelam yang berakhir pada sahabat. Jalur penyelam ini lebih baru asal-usulnya daripada yang berakhir pada tabiin. Ketiga jalur penyelam yang berakhir pada nabi. Jalur penyelam ini dianggap se¬bagai jalur yang paling baru. Dengan demikian, semakin dalam jalur isnad itu menyelam di bawah cl maka semakin baru pula asal-usul jalur tersebut. Dengan kata lain semakin dalam jalur itu menyelam (dive) di bawah common link, semakin muda (belakangan) umur atau asal-muasal jaringan isnad tersebut. d. Inverted Common Link inverted common link merupakan isitlah yang berlawanan/kebalikan dengan common link. Dengan kata lain dalam cl terdapat satu jalur tunggal yang merentang dari nabi hingga cl, yang tcrdiri dari tiga sampai lima pcriwayat dan kemu-dian baru menyebar ke beberapa jalur pada level cl sedangkan dalam icl terdapat berbagai jalur tunggal yang bcrasal dari saksi mata yang berbeda-beda, dan pada gilirannya masing-masing dari mercka me-nyampaikannya kepada seorang murid hingga pada akhirnya bersatu dalam icl. Jika cl cenderung memalsukan jalur tunggal yang bersumber dari-nya hingga kepada nabi atau sahabat maka sebaliknya, icl cenderung tidak memalsukan nya. Icl tidak mungkin memalsukan berbagai jalur isnad yang turun kc berbagai saksi mata. Ia juga tidak memalsukan kandungan atau inti laporan. Walaupun ia memperbaiki uraian-urai-an yang berbeda mcngcnai peristiwa yang sama dan membentuknya menjadi satu narasi inti peristiwa sejarah itu bukan merupakan hasil dari imajinasinya sendiri. Oleh karena itu, otentisitas hadits hukum yang menunjukkan model cl dipertanyakan, sementara hadits-hadits sejarah atau akhbar yang menunjukkan model icl dapat ditcrima sebagai laporan yang reliable (dapat dipercaya). 3. Cara Kerja Teori Common Link Dalam kajiannya terhadap sanad hadis, Juynboll secara umum bisa digolongkan kepada dua bagian, pertama; kritiknya terhadap umat islam dalam konsep dan cara analisis sanad yang mereka kembangkan, kedua; menciptakan metode analis isnad yang baru sebagai alternatif. Ia berkesimpulan bahwa metode yang selama ini digunakan oleh para muhaddisin dalam menganalisis sanad adalah metode yang lemah. Oleh karena itu perlu rancangan metode analisis sanad yang baru untuk menyelidiki kemunculan suatu matan hadis. Menurut juynboll mengungkapkan bahwa tidak pcrnah menemukan metode yang sukses secara moderat untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada Nabi Saw. dengan kepastian yang tidak kontroversial kecuali dalam sedikit contoh yang ter-isolasi. Selain itu, metode kritik isnad, menurutnya, memiliki beberapa kelemahan: petama, metode kritik isnad baru berkembang pada periode yang relatif sangat terlambat bila dipakai sebagai alat yang memadai untuk memisahkan antara materi hadits yang asli dan yang palsu. Kedua, isnad hadis, sekalipun sahih, dapat dipalsukan secara keseluruhan dengan mudah. Ketiga, tidak diterapkannya kriteria yang tepat untuk memeriksa matan hadits. Berangkat dari berbagai kelemahan dalam metode kritik hadits itu, Juynboll kemudian mengembangkan sebuah metode penelitian hadits yang, menurutnya, relatif baru dan mampu memberikan jawaban mengenai sumber dan asal-usul hadits dengan lebih akurat.48 Dalam hal ini Motzki menganggap metode tersebut sebagai contoh yang baik untuk studi analisis isnad yang dicapai di Barat saat ini dan untuk menilai literatur hadits sebagai sumber bagi penelitian sejarah. Dari berbagai tulisan Juynboll mengenai hadis, khususnya yang menggunakan teori common link dan metode analisis isnad, Ali Masrur menyimpulkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan metode tersebut secara rinci. Langkah-langkah itu adalah: a) Menentukan hadis yang akan diteliti b) Menelusuri hadis dalam berbagai koleksi hadis c) Menghimpun seluruh isnad hadis d) Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad (pohon sanad) e) Mendeteksi Common Link, periwayat yang dinilai paling bertanggung jawab atas penyebaran hadis. Selain merumuskan teori analisis isnad Juynboll juga menerapkan analisis matan. Secara umum, langkah-langkah metode analisis matan yang diajukan olehnya adalah: a) Mencari matan yang sejalan. b) Mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan. c) Menentukan common link yang tertua. d) Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadits yang sejalan. Model analisis matan Juynboll pada akhirnya kembali lagi ke model analisis isndd, yakni mencari dan mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan sehingga struktur dan kandungan hadits kurang mendapat perhatian yang memadai. Oleh karena itu, tidak salah jika ia menyebut model analisisnya secara kcseluruhan dengan metode analisis D. Implikasi Teori Common Link terhadap Asal-Usul dan Perkembangan Hadits 1. Sumber Hadits Pada dasarnya, menurut para ahli hadits, sumber hadits adalah Nabi. Berbeda dengan hal tersebut, Juynboll menyatakan bahwa yang menjadi sumber hadits yang terdapat dalam koleksi hadits ataupun yang kanonik sekalipun, hadits tidak bersumber dari sahabat ataupun Nabi saw. Menurutnya, Nabi dan para sahabat tidak bertanggung jawab atas dimasukkannya nama-nama mereka dalam rangkaian isnad hadits. Adapun yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah seorang periwayat yang berperan sebagai common link dalam bundel isnad. Menurut Juynboll, yang menjadi common link dalam bundel isnad hampir tidak pernah seorang sahabat atau bahkan tabi’in besar. Akan tetapi hampir selalu seorang dari generasi tabi’in kecil dan tabiit tabiin. Jika para sahabat dan tabiin besar saja hampir tidak pernah menjadi seorang common link apalagi Nabi sendiri. Sudah dapat dipastikan bahwa Nabi tidak pernah menjadi common link. Hal tersebut dibuktikan dengan kenyataan bahwa dari berbagai jalur isnad dari Nabi ke berbagai koleksi hadits tidak segera menyebar ke sejumlah sahabat dan begitu juga dari masing-masing sahabat tidak segera bercabang kesejumlah tabiin, akan tetapi hadits baru bercabang ke lebih dari satu periwayat setelah tiga atau empat periwayat yang berstatus single strand. 2. Metode Kritik Hadits Konvensional Dalam rangka menghadapi gerakan pemalsuan hadits, para ahli hadits telah mengembangkan sebuah metode kritik untuk membedakan antara hadits otentik dengan hadits yang lemah dan palsu. Metode tersebut berpijak pada lima kriteria, yaitu persambungan isnad (ittishal as-sanad), keadilan periwayat (adalah arruwat), ke-dhabitan periwayat (dhabit ar-ruwat), keterhindaran dari syudzudz, dan keterhindaran illat. Dari metode tersebut menurut Juynboll terdapat kelemahan dalam metode kritik hadits konvensional. Metode itu menurutnya masih menimbulkan kontroversi jika digunakan untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada Nabi. Juynboll mengatakan bahwa, metode kritik hadits konvensional ternyata memiliki beberapa kelemahan, yaitu kemunculannya dirasa sangat terlambat jika dipakai untuk menyisihkan materi hadits yang otentik dan tidak, Isnad dapat dipalsukan secara keseluruhan, dan tidak diterapkannya kritik matan yang tepat. Berangkat dari kenyataan itulah Juynboll kemudian menawarkan metode common link sebagai ganti dari metode kritik hadits konvensional. Metode common link ternyata tidak hanya berimplikasi pada upaya merevisi metode kritik hadits konvensional, tetapi ia juga menolak seluruh asumsi dasar yanng menjadi pijakan bagi metode itu. Jika metode kritik hadits konvensional berpijak pada kualitas periwayat maka metode common link tidak hanya menekankan kualitas sang periwayat, tetapi juga kuantitasnya. 3. Teori Mutawattir dalam Hadits Dari segi kualitas periwayatnya, hadits dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni shahih, hasan, dan dha’if. Akan tetapi jika dilihat dari segi kuantitas periwayatnya, ia terbagi menjadi dua bagian, yakni mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat (dan mereka juga memperolehnya) dari seorang periwayat dari awal hingga akhir sanad yang menurut nalar dan kebiasaan mereka tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Ahli hadits beranggapan bahwa ke-mutawatiran sebuah hadits dapat dijadikan jaminan bahwa hadits tersebut berasal dan bersumber dari Nabi. Oleh karena itu periwayat hadits mutawatir tidak perlu diteliti. Bahkan mengamalkan hadits yang mutawatir adalah wajib dengan tanpa harus menelitinya terlebih dahulu. Berbeda dengan ahli hadits, Juynboll dalam kajiannya lebih menekankan pada keraguannya terhadap otentisitas hadits mutawatir sebagai yang benar-benar berasal dari Nabi. Dalam hal ini ia mengatakan ke-mutawatiran sebuah hadits bukanlah jaminan bagi kesejarahan penisbatannya kepada Nabi Saw. Sebagi bukti, ia meneliti dua hadits yang digolongkan oleh ahli hadits sebagai hadits mutawatir, yaitu hadits man kadzaba (larangan berbohong atas nama Nabi) dan hadits yang berisi larangan niyahah (meratapi kematian anggota keluarga). Setelah menyelidiki berbagai sumber mengenai matan dan isnad dua hadits tersebut, Juynboll menyimpulkan bahwa kedua hadits tersebut disebarkan oleh generasi belakangan dan benar-benar tidak berasal dari periode kehidupan Nabi. Selain itu, Juynboll juga mempersoalkan definisi hadits mutawatir. Menurutnya, definisi hadits mutawatir dihasilkan dengan penuh persoalan. Perumusannya bahkan mengalami berbagai perubahan yang tidak sederhana. Terkadang ia dapat diterapkan untuk hadits tertentu dan dalam konteks tertentu, namun tidak dapat diterapkan sama sekali untuk hadits-hadits yang lain. Konsep itu dikembangkan secara sembrono dan definisinya juga tidak pernah bebas dari kekaburan (ambiguity). Istilah mutawatir juga sering digunakan secara longgar atau bahkan malah secara salah. Demikianlah, dengan menggunakan metode common link dan juga teori lain yang terkait, seperti backward projection dan argumen-tum e silentio, Juynboll menemukan banyak anomali dalam teori tawatur, baik yang terkait dengan pendefinisiannya maupun penerapan kriterianya dalam hadits. Meski demikian, hasil temuan Juynboll tidak jauh berbeda dengan teori pertama yang diwakili oleh Ibn ash-Shalah, al-Hazimi, asy-Syathibi, dan Ibn Hibban al-Busti yang merasa kesulitan menemukan hadits mutawatir. Hanya saja, karena para ahli hadits berangkat dari definisi yang berbeda mengenai teori tawatur maka tidak mengherankan jika muncul beberapa pendapat lain di kalangan mereka mengenai teori tawatur ini. 4. Posisi Syu’bah bin Hajjaj dalam Perkembangan Hadits Dalam buku-buku biografi periwayat hadits, seperti al Jarh wa at-Tadil karya Abu Hatim ar-Raiff (w. 327 H.), dan Tahdzib at-Tahdzib karya Ibn Hajar al-`Asgalani (w. 582 H.), Syu'bah bin al-Hajjaj menduduki posisi yang sangat terhormat di antara para ahli hadits lainnya, khususnya di Basrah. Dalam beberapa hal, ia ditempatkan lebih tinggi daripada al-A'masy dan Sufyan al-Tsauri. Pada puncak-nya, Sufyan al-Tsauri menyebutnya sebagai amir al-mu'minin fi al hadits (pemimpin orang-orang beriman di bidang hadits). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikutip beberapa komentar para kritikus hadits mengenai posisi Syu'bah dalam periwayatan hadits. Pada awalnya, Syu'bah bin Hajjaj, seorang mawla dari Wasith yang kemudian tinggal di Basrah, sebenarnya lebih tertarik dengan syair. Ketika ia mendengar seorang ahli fiqh (fagih) dan kolektor hadits terkenal, al-Hakam bin Utaibah meriwayatkan hadits dari guru-gurunya, ia kagum dan mulai mengumpulkan hadits. Syu'bah kemudian mendapat kualifikasi shalih di antara kawan sebayanya karena keterlibatannya dalam perkembangan dan perbaikan matan hadits demi kemajuan Islam. Akan tetapi, karena mampu mensistematisasi berbagai penilaian atas para periwayat hadits, is menjadi ahli di bidang kritik hadits. Sejak saat itu, ia diakui oleh semua orang dan diberi gelar yang paling terhormat di antara para ahli hadits pada saat itu, yakni amir al-mu'minin fi al-hadits (pemimpin orang-orang beriman di bidang hadits). Menurut Juynboll, Syu’bah bin Hajjaj merupakan common link tertua dan paling teruji kebenarannya. Juynboll menolak berbagai laporan dari para kritikus hadits dalam bukubiografi periwayat hadits secara apa adanya, tetapi menempatkannya sebagai laporan sejarah bagi peristiwa sebenarnya yang mungkin saja mengandung kekurangan, kelemahan atau bahkan kesalahan, karena telah bercampur dengan berbagai interpretasi yang masuk belakangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kritik internal atas laporan-laporan tersebut. Hasilnya, dalam buku-buku tersebut informasi asli telah bercampur dengan beberapa biografi fiktif sebagai akibat dari pemalsuan hadits, sehingga untuk mendapatkan informasi asli dari yang fiktif. Dalam hal ini Juynboll menolak gelar amir al mu’minin fi al hadits yang disandangkan kepada Syu’bah bin Hajjaj dalam buku-buku rijal al-hadits. 5. Isnad Keluarga Sejak awal sejarah periwayatan hadits, tidak sedikit hadits yang diriwayatkan melalui isnad-isnad keluarga (family isnads). Kata keluarga di sini mencakup tidak hanya hubungan darah, yakni hubungan anak dengan orang tuanya, tetapi juga hubungan mawali, hubungan budak dengan tuannya. Beberapa contoh isnad semacam itu adalah:  Ma'mar bin Muhammad dari ayahnya,  Isa bin Abdullah dari ayahnya,  Katsir bin Abdullah dari ayahnya,  Musa bin Mathir dari ayahnya,  Yahya bin Abdullah dari ayahnya,  Nafi' dari tuannya, Ibn Umar, dan  Muhammad bin Sirin dari tuannya, Anas bin Malik Analisis atas isnad-isnad di atas, kata Schacht, membuktikan bahwa isnad keluarga adalah palsu dan dengan demikian ia bukan merupakan indikasi bagi otentisitas hadits, melainkan lebih sebagai alat untuk menjamin kemunculannya. Berbeda dengan Schacht, Abbott berpendapat bahwa isnad keluarga memiliki hubungan langsung, dan sejak awal, dengan periwayatan hadits secara tertulis selama beberapa generasi. Fenomena isnad keluarga, menurutnya, semakin memperkuat teorinya yang menyatakan bahwa terdapat kesinambungan dalam periwatan hadits secara tertulis dari masa nabi hingga munculnya berbagai koleksi hadits kanonik. Juynboll dalam hal ini setidaknya didukung oleh penyelidikannya terhadap salah satu isnad keluarga yang dimiliki Malik bin Anas dalam al-Muwaththa, yang diklaim oleh para ahli hadits, seperti al-Bukhari, sebagai isnad paling sahih. Jalur isnad itu terdiri dari: Malik - Nafi' mawla Ibn Umar - Abdullah bin Umar - Nabi. Para ahli hadits menyebut isnad ini dengan silsilah adz-dzahab (isnad emas). Keraguan Juynboll atas isnad emas ini didasarkan atas dua hal, yakni kesejarahan tokoh Nafi' dan hubungan guru-murid antara Malik dan Nafi'. Untuk masalah pertama (kesejarahan tokoh Nafi'), Juynboll paling tidak mengungkapkan tiga argumen yang memperkuat bahwa tokoh Nafi' adalah fiktif, bukan historis. Pertama, sangat sedikit sejarah hidup Nafi' yang dapat di-ketahui dari berbagai sumber biografi, bahkan lebih sedikit daripada para periwayat penting yang lain. Kedua, terdapat kontradiksi dalam berbagai laporan tentang biografi Nafi' yang sangat sedikit itu, khususnya tentang asal-usul dan tahun kematiannya. Ketiga, dalam dua buku utama yang merekam para tabiin Madinah, Thabagat al-Kabir karya Ibn Sad dan Shifatash-Shafwah karya Ibn al-Jawzi, biografi Nafi' tidak dijumpai, padahal nama-nama para tabiin yang semasa dengannya disebutkan di sana. Berdasarkan kronologi semacam itu, Juynboll menyimpulkan bahwa hadits-hadits dengan isnad Nafi' tidak mungkin sampai ke-pada Malik, kecuali melalui bahan tertulis (written material) yang didapatkan Malik beberapa tahun setelah meninggalnya Nafi'. Jadi, Malik sebenarnya meriwayatkan hadits-hadits Nafi' tersebut berdasarkan shahifah dan meriwayatkannya dengan cara 'ardh atau mu’dradhah, sebuah praktik periwayatan hadits yang telah ada pada 110 H. Berbagai temuan Juynboll mengenai isnad Malik - Nafi' - Ibn Umar ini dikritik oleh Motzki dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam Der Islam. Dalam tulisan tersebut, berbagai temuan Juynboll tentang isnad Malik - Nafi' - Ibn Umar dipertanyakan secara serius. Pertama, terkait dengan kesejarahan tokoh Nafi', misalnya, Motzki mengakui bahwa terdapat beberapa periwayat penting yang tidak banyak diketahui riwayat hidupnya, sementara biografi para periwayat yang kurang penting justru direkam lebih luas dalam berbagai buku biografi periwayat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa biografi para periwayat Arab lebih banyak diketahui daripada biografi mawali. Kedua, berbagai laporan tentang biografi Nafi' yang oleh Juynboll dianggap kontradiktif satu sama lain sebenarnya tidaklah demikian. Walaupun terdapat dua versi mengenai asal-usul Nafi’ dalam sumber-sumber biografi tertua, Juynboll tampaknya tidak sadar bahwa Abrasyahr (daerah di sekitar Naysabur) telah disebutkan dalam Thabagat Ibn Sa'd sebagai tempat kelahiran Nafi' dan bahwa Umar mendapatkannya sebagai mawla dalam operasi militernya. Ketiga, Motzki mempersoalkan sikap Juynboll yang kelihatan terkejut ketika membaca informasi tentang Nafi' yang hampir semuanya bersumber dari Malik sendiri. Menurut Motzki, berbagai tulisan biografis mengenai Malik tentu saja menitik beratkan pada hubungannya dengan Nafi' dan bukan hubungan Nafi' dengan murid-muridnya yang lain. Dan, sangat logis jika Malik sendiri yang sering dikutip tentang berbagai persoalan yang menyangkut guru-gurunya, termasuk Nafi'. Terlebih lagi jika seseorang membaca tulisan biografis mengenai Nafi', seseorang akan menemukan bahwa Malik bukanlah sumber yang dominan. Terlepas dari berbagai kritik Motzki tersebut, pandangan negatif Juynboll atas isnad keluarga, khususnya isnad emas: Malik - Nafi'- Ibn Umar, merupakan bukti yang tidak dapat dibantah bahwa ia adalah pengikut Schacht (Schachtian) yang setia. Dalam banyak hal, baik teori maupun hasil temuan Juynboll tidak lebih daripada sekadar syarh dan perluasan atas ide-ide Schacht dan juga Goldziher. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Posisi Juynboll dalam studi hadits di Barat ada dua pendapat mengenai hal tersebut. Dari segi paradigmanya, Juynboll merupakan seorang revisionis dan merupakan seorang pengikut Schacht. Sedangkan dari segi hasil, Juynboll diletakkan dalam posisi tengah-tengah (midle ground). 2. Common link menurut Juynboll addalah istilah untuk seorang periwayat hadis yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seseorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada dua atau lebih muridnya. 3. Common link dalam asal usul dan perkembangan hadits berimplikasi pada 1) sumber hadits, 2) Metode Kritik Hadits Konvensional, 3) Teori Mutawattir dalam Hadits, 4) Posisi Syu’bah bin Hajjaj dalam Perkembangan Hadits, 5) Isnad keluarga. B. Saran Pada makalah ini hanya dibahas bebrepa kajian tentang common link yang di usung oleh juynboll secara parsial dan sangat memungkinkan sekali makalah ini akan mengerutkan dahi para pembaca. Oleh karena itu para pembaca perlu merujuk buku sumber yang ka,i kutip karena dalam buku tersebut dibahas secara gambang beserta ilustrasi yang jelas. DAFTAR PUSTAKA Amin, Kamaruddin, Metode Kritik Hadis, (Bandung: Mizan, 2009). ----------------------Western Methods of Dating vis-a-vis Ulumul Hadis, (Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2010). Masrur, Ali, Teori Common Link G. H. A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (Yogyakarta: LkiS, 2007). Sumbulah, Umi, Kajian Kritik Ilmu Hadits, (Malang: UIN Maliki Press, 2010). Husein, Hamdan, Tela’ah Atas Teori Common Link G.H.A Juynboll dalam http://hamdanhusein.files.wordpress.com/2012/01/telaah-atas-teori-common-link-g-h-a-juynboll.docx