Minggu, 11 November 2012

Tafsir Mu'tazilah

A. Sejarah Singkat Mu’tazilah Asal usul istilah mu’tazilah sebagai nama kelompok Islam tertentu masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan para pemikir sejarah. Adapun pendapat yang mashur mengatakan bahwa Mu’tazilah merupakan sebutan untuk kelompok yang dipelopori oleh Washil bin Atha’. Kelompok ini pada awalnya muncul dari perdebatan teologis antara Washil bin Atha dengan gurunya Hasan al Bashri. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan al-Bashri masih berfikirWashil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan engatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir tetapi mengambil possi diantara keduanya, tidak mu’min dan tidak kafir.” Kemudian dia berdiri dan menjauh dari Hasan al-Bashri pergi ke tempat lain di Masjid dan mengulangi pendapatnya tersebut. Atas peristiwa ini Hasan al-Bashri mengatakan, “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala’ anna).” Dengan demikian ia beserta teman-temannya dsebut kaum Mu’tazilah. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa orang yang pertama membina Mu’tazilah adalah Wasil bin Atha’. Wasil lahir tahun 81 H di madinah dan meninggal tahun 131 H. Disana ia belajar pada Abu Hasyim Abdullah Ibn Muhammad ibn al-Hanafiyah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-Basri. Semenjak meninggalkan Majelis Hasan al-Basri, Wasil bin Atha’ bersama rekannya, Amr bin Ubaid mengajarkan penafsiran teks yang beberapa dinilai berbeda dengan penafsiran umumnya. Hal ini dikarenakan mereka mengedepankan penafsiran dengan rasio (ra’yi). Diantara produk penafsiran yang menjadi prinsip utama kaun Mu’tazilah adalah: ajaran tentang Tauhid, keadilan Tuhan, janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id), tempat diantara dua tempat (manzilah baina al-manzilatain), dan mengerjakan yang baik dan melarang kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Selain itu semua, ada lagi prinsip utama Mu’tazilah yang memiliki kesamaan dengan kelompok Qadariyah yaitu kehendak bebas manusia (free will). Karena free will nya ini, Mu’tazilah sangat menjunjung tinggi Rasio. Sehingga, dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur’an mereka lebih mengutamakan sumber Rasio. Menurut mereka Wahyu seharusnya sesuai dengan rasio bukan sebaliknya. Apabila al-Qur’an tidak sesuai dengan Rasio maka harus dita’wilkan. Mu’tazilah dibawah binaan Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid semakin menemukan jalan terang menuju kejayaan. Dalam langkah-langkahnya mereka menemukan kesuksesan-kesuksesan. Pengikutnya semakin hari semakin bertambah. Sehingga mereka mampu mengambil perhatian kerajaan. Khalifah Yazid bin Walid terang-terangan mendukung Mu’tazilah dan selama masanya Mu’tazilah menjadi madzhab yang lebih diutamakan daripada madzhab-madzhab yang lain. Setelah dinasti Umayyah runtuh tahun 132/749, Mu’tazilah mendapatkan sambutan yang ramah dari dinasti Abasiyah. Khalfah kedua Abasiyah, al-Mansur merupakan teman kecil Amr bin Ubaid dan sekaligus pengikut Mu’tazilah. Pada masa pemerintahannya, al-Mansur (754-77M) selalu mendukung Mu’tazilah dengan segala kegiatan ilmiyahnya. Bahkan dia sendiri juga turut mendengungkan agar kebudayaan dan ilmu pengetahuan terus di kembangkan. Buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan dari India, Persia, Syria, dan Yunani harus diterjemahkan dalam bahasa Arab. Penerjemahan tersebut diadakan dibawah komando dan didanai oleh Negara. Ketika al-Makmun (813-833 M) diangkat menjadi Khalifah, Mu’tazilah masih tetap mendapatkan kehormatan yang tinggi. Sebagimana yang diungkapkan oleh Saeed Shaikh, Al-Makmun, sering turut mendengarkan perdebatan antar agama. Dia memberikan kebebasan berfikir dan berpendapat kepada mereka. Dalam perdebatan-perdebatan tersebut, Mu’tazilahlah yang sering tampil menjadi pemenang. Sehingga menunjukkan bahwa Mu’tazilah merupakan Protector Islam dari serangan-serangan luar. Dari pemaparan Saeed Shaikh tersebut penulis menemukan hal yang nampak kontradiksi. Banyak refrensi lain yang mengatakan bahwa al-Makmun tidak begitu memberikan kebebasan berfikir. Hal ini terbukti dengan adanya peristiwa al-mihnah. Al-Mihnah merupakan kebijakan khalifah al-Makmun untuk memaksakan kepercayaan bahwa al-Qur’an adalah firman yang diciptakan (makhluk) oleh karena itu bersifat baru dan tidak abadi. Hal ini merupakan bukti nyata akan sikap fanatisme al-Makmun terhadap Mu’tazilah. Al-Makmun, sebagai penganut Mu’tazilah yang fanatic, terpanggil untuk melaksanakan salah satu dari “lima prinsip pokok” (al-ushul al-khamsah) yaitu al-amar bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar secara konsekuen dengan menggunakan tangan kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga al-mihnah sesungguhnya merupakan suatu aplikasi atas salah satu doktrin Mu’tazilah. Lebih dari pada itu, oleh karena Abbasiyah menganut sistem teokrasi, para Khalifah merasa dirinya yang paling bertanggungjawab menjaga keimanan (aqidah) umat dari faham syirik serta mengembalikannya pada paham tauhid yang murni sesuai dengan tuntunan al-Qur’an tersebut menghendaki seluruh warga Negara Muslim, terutama aparatur pemerintah dalam semua tingkatannya, benar-benar memelihara diri dari hal-hal yang merusak keyakinannya. Dalam pandangan pemerintah kepercayaan umat Islam akan paham “al-Qur’an Qadim” adalah cenderung pada interpretasi yang menjurus syirik, satu-satunya dosa besar yang tidak terampuni (QS, 4: 48), karena hal itu identik dengan mempersekutukan ke qadiman Tuhan kepada selain-Nya. Sebaliknya, pengakuan bahwa al-qur’an makhluk, dalam arti tidak qadim, merupakan cirri keimanan yang sejati. Dari fakta sejarah tersebut, jelaslah bahwa pemikiran maupun penafsiran al-Qur’an Mu’tazilah tidak bisa terlepas dari intervensi rezim yang berkuasa. Hal ini tidak hanya terjadi pada Mu’tazilah saja, kelompok-kelompok lainpun juga tidak bisa terlepas dari pengaruh politik yang menyelubunginya. Tidak lama setelah al-mihnah, pada masa al-Mutawakil (847-861M), Mu’tazilah menemukan jalan buntunya. Berbeda dengan al-Makmun, al-Mutawakil lebih memilih aliran Salaf yang mendukung sunnah (tafsir bi al ma’tsur) daripada alran Rasionalisme (tafsir bi al ra’yi). Disebabkan hal tersebut, Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali naik daun. Semenjak itulah aliran Rasionalisme dalam Islam mulai meredup dan termarjinalkan. B. Ideologi Tafsir Mu’tazilah Sebelum membahas lebih jauh tentang Ideologi tafsir Mu’tazilah terlebih dahulu penting untuk dipahami apa yang dimaksud tafsir Mu’tazilah di sini. Tafsir mu’tazilah yang dimaksud disini adalah segala hal yang berkaitan dengan penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh para pngikut aliran mu’tazilah. Jadi, term tafsir disini bukan berarti tafsir sebagai produk penafsiran, akan tetapi lebih kepada segi metodologinya. 1. Pandangan Mu’tazilah terhadap Wahyu Hal mendasar dari prinsip penafsiran Mu’tazilah adalah pandangan mereka terhadap wahyu. Harun Nasution mengatakan bahwa, Mu’tazilah memandang turunnya wahyu dari Tuhan kepada manusia memiliki dua fungsi yaitu fungsi konfirmasi dan informasi. Pertama fungsi konfirmasi. Fungsi ini mengandung pemahaman bahwa Wahyu (al-Qur’an) turun berfungsi untuk memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal. Bagi Mu’tazilah, akal manusia pada dasarnya mampu mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat, mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan, dan mengetahui kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Pengetahuan-pengetahuan tersebut juga bisa ditemukan pada al-Qur’an. Dengan kata lain pengetahuan-pengetahuan akal tersebut dikonfirmasi oleh al-Qur’an. Kedua fungsi informasi. Menurut Abd al-Jabar, sebagaimana telah dikutip oleh Harun Nasution bahwa pada kenyataannya akal tidak dapat mengetahui semua yang baik. Begitu juga akal hanya dapat mengetahui kewajiban-kewajiban garis besarnya, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup diakhirat nanti, mauun mengenai hdup manusia di dunia. Dari itu dibutuhkan wahyu untuk menyempurnakan kelemahan akal tersebut. Contohnya pengetahuan tentang kejahatan berdusta dan tidak adil itu dapat diketahui langsung dari akal. Sedangkan kejahatan seperti berzina, minum-minuman keras itu hanya bisa diketahui melalui wahyu. Dari uraian diatas dapatlah diambil pemahaman bahwa mu’tazilah lebih cenderung memilih epistemology burhani , akan tetapi juga tidak menafikan bayani . 2. Ideologi Penafsiran Mu’tazilah Dalam membentuk visinya, Mu’tazilah merumuskan beberapa tesis yang dijadikan Ideologi penafsiran. Ideologi tersebut disusun dengan model theology yang berasaskan rasionalisme yang kuat. Meskipun demikian Ideologi teologis ini juga tidak terlepas dari penafsiran mereka terhadap al-Qur’an itu sendiri. Sebagamana disinggung pada sejarah diatas bahwa Mu’tazilah memiliki lima prinsip dasar (al-ushul al-Khamsah). Lima dasar tersebutlah yang menjadi Ideologi pemikiran kaum Mu’tazilah. Tidak terkecuali dalam menafsirkan al-Qur’an mereka juga berpijak pada lima dasar itu. Terkait hal ini, Hambawang menjelaskan, “Mereka (Mu’tazilah) meletakkan kaidah-kaidah tersebut terlebih dahulu, kemudian di atasnya mereka membangun madzhab i'tizal mereka itu, kemudian setelah itu mereka berusaha untuk menundukkan ayat-ayat al-Qur'an, dan merumuskan daripadanya dalil-dalil yang menguatkan kelima prinsip mereka itu.” Dari uraian tersebut jelaslah Mu’tazilah merupakan kelompok rasionalis yang liberal. Jika dilihat dari argument-argumennya tentang lima prinsip tersebut, akan terlihat kecenderungannya memenangkan akal daripada al-Qur’an secara tekstual. Adapun kelima prinsip tersebut adalah: 1. Keesaan Tuhan (tauhid). Bagi Mu’tazilah, keesaan Allah sudah final. Mereka berpandangan bahwa sifat-sifat Allah adalah tidak lain dari hakikatnya sendiri. Orang yang percaya bahwa sifat-sifat Allah itu terpisah dari hakikat-Nya dan berdiri sendiri, tentunya percaya akan “kemajemukan” ajaran monoteisme. Makadari itu keesaan Allah berarti tidak ada yang kekal dan qadim selain Allah. Kosep tauhid Mu’tazilah tersebut sangat berpengaruh pada pandangannya terhadap al-Qur’an. Menurutnya al-Qur’an adalah makhluk Allah bukan Kalam Allah. Hal itu dikarenakan jika al-Qur’an merupakan Kalam Allah, maka al-Qur’an bersifat qadim. Mustahi bagi mu’tazilah ada bila dua keqadiman Yaitu Allah dan Kalamnya (al-qur’an). jelas itu menyalahi konsep monoteismenya. 2. Keadilan Tuhan (al-adl). Tafsiran Mu’tazilah mengenai pengertian keadilan adalah bahwa Allah SWT, wajib berbuat adil dan mustahil jika tidak adil. Allah harus menggajar orang yang benar dan menghukum yang salah. Mustahil dihari kiyamat orang akan lolos dari hukuman dan orang yang benar tidak memperoleh pahla. Allah SWT, tidak adil jika berbuat demikian. 3. Janji dan ancaman (al-waad wa al-Wa’id). Janji dan ancaman ini merupakan salah satu konsakuensi dari pemahaman Keadilan Tuhan di atas. Allah pasti menepati janji dengan memberikan surga kepada yang berbuat baik dan pasti juga mewujudkan ancamannya dengan memberikan neraka kepada pelaku dosa. 4. Tempat diantara dua tempat (manzilah baina al-manzilatain). Posisi ini sering dikaitkan dengan orang yang fasiq (yaitu orang yang berbuat dosa besar misalnya saja minum-minuman keras, pezina, pedusta, dan sebagainya) bukanlah orang yang beriman dan bukan pula orang kafir. Dengan demikian, Fasiq merupakan diantara iman dan kafir. 5. Menganjurkan kepada kebaikan dan menncegah kepada kemungkaran (Amar ma’ruf nahi munkar). Pandangan Mu’tazilah mengenai kewajiban Islam ini. adalah sbahwa syari’at bukanlah satu-satunya jalan untuk mengidentifikasi mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Akal manusia, setidak-tidaknya sebagian, dapat mengidentifikasikan sendiri berbagai jenis kemakrufan dan kemungkaran. Dari lima prinsip tersebut dua prinsip yang awalah yang menjadi prinsip utama. Tiga prinsip yang lain baru berarti karena memberi ciri Mu’tazilah, Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Khairuman, “Paham keesaan dan keadilah (¬al-tauhid dan al-adl) menjadi tesis pertama madzhab Mu’tazilah dan sekaligus menjadi nama lain dari mu’tazilah.” Kelima prinsip tersebutlah yang menjadi tolok ukur penafsiran Mu’tazilah. Sebelum mengeluarkan produk penafsiran harus diyakinkan terlebih dahulu bahwa penafsirannnya sesuai dengan lima prinsip tersebut. Apabila orang tidak sejalan dengan prinsip tersebut meskipun cuma satu saja maka sudah dianggab bukan kelompok Mu’tazilah. C. Kitab Tafsir Mu’tazilah Sebagaimana telah terpaparkan pada sejarah di atas, bahwasannya Mu’tazilah merupakan Salah satu sekte Islam yang gemar mengembangkan ilmu pengetahuan. Sekte ini juga gemar diskusi ilmiyah dan juga berdebat theology. Dari itu tentu, pada zamannya, muncul banyak pemikir tafsir al-Qur’an. diantara para mufassir Mu’tasilah adalah: Imam Abu Bakr al-Ashamm, Imam Abu'Ali al-Jabany, Abul Qasim al-Balkhy, Imam Abu Muslim bin Bahr al-Ashfahany, Imam al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamzany, Imam asy-Syarif al-Murtadha al-'Alim asy-Syi'iy al-'Alawy, Imam Abul Qasim Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari. Diantara para mufassir Mu’tazilah tersebut banyak karya-karyanya yang tidak bisa kita jumpai pada masa sekarang. Adapun satu-satunya kitab Tafsr Mu’tazilah utuh satu al-Qu’an yang bisa kita pegang adalah kitab al-Kasysyaf an Haqa’iq al-Tanzil Uyun al-Aqawi fi Wujuh al-Ta’wil , karya Imam Abul Qasim Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari (w.538 H). Selain itu, Imam al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamzany, (w.415 H). Beliau telah menyusun kitab tafsirnya yang berjudul Tanzihul Qur'an' 'anil Matha'in. Kitab ini beredar di kalangan ulama, tetapi kandungannya tidak meliputi keseluruhan isi al-Qur'an. D. Metode Penulisan dan Corak Tafsir Mu’tazilah Tidak menutup kemungkinan tentang adanya model metode penulisan yang beragam pada Tafsir Mu’tazilah di zamannya. Akan tetapi, terkait hal tersebut kami tidak menemukan jelasnya metode apa saja yang digunakan. Jika dilihat dari kitab tafsir al-Kasysyaf sebagaimana yang dijelaskan Fauzan Naif bahwa kitab tersebut dituliskan berdasarkan tartib mushafi, yaitu berdasarkan surat dan ayat dalam Mushaf Usmani, terdiri dari 30 juz berisi 144 surat dimulai dengan surat al-Fatihah diakhiri dengan surat al-Nas. Setiap surat diawali dengan basmalah kecuali surat al-Taubah. Dengan kata lain metode yang digunakan oleh al-Zamaksari dalam kitabnya tersebut adalah metode tahili. Hal ini juga membawa kesimpulan bahwa Mu’tazilah juga mengembang kan penafsiran al-Qu’an dengan metode tahlili. Jika dilihat dari produk / materi tafsirnya, secara umum Mu’tazilah kental dengan nuansa atau corak teologis (kalam). Hal ini juga dapat dilihat dari kacamata sejarah bahwa Mu’tazilah merupakan aliran kalam terbesar pada masanya. Predikat protector Islam merupakan bukti akan keberhasilannya dalam berargumentasi melalui ra’yinya dengan al-Qur’an. Sedangkan metodologi dominan (corak metodologis) yang digunakan dalam tafsir Mu’tazilah adalah metode linguistik (ilmu bahasa). Hal ini sebagaimana yang di paparkan oleh Goldziher: “Usaha-usaha yang disuguhkan al-Murtadha dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, kerap bersandar kepada pemimpin lama Mu’tazilah Abi Ali al-Juba’i. ia sangat menyukainya karena menggunakan kerangka perspektif linguistic. Inilah prinsip yang sangat penting sejak awal penafsiran Mu’tazilah. Mereka memahami ungkapan-ungkapan yang menunjukkan pada tasybih, atau hal yang tidak pantas dengan kedudukan Tuhan, dengan pentakwilan-pentakwilan yang lebih banyak dan jauh dari tasybih, disertai bukti-bukti linguistic (dari syair-syair klasik). Dalam eksplorasinya, mereka berusaha sekuat tenaga untuk selalu berjalan pada prinsip yang tetap dalam bahasa.” Kajian-kajian kebahasaan tersebut juga sering dihubungkan dengan tafsir teologis. hal ini sebagai mana yang dikutib Goldziher dari Abu Qasim Ali bin Thahir bahwa ia membenarkan atas adanya kompromi tafsir dengan teori-teori aliran Mu’tazilah. Corak tasir linguistik yang mengerah pada teologies tersebut juga terdapat pada kitab tafsir al-Kasysyaf. Jika dilihat Tafsir ini di dalamnya penuh dengan romantika balaghah (kajian pilologi) serta kental dengan unsur-unsur teologi mu’tazilah. Tafsir ini termasuk tafsir apologis, yang menjadikan Qur’an sebagai alat legitimasi demi kepentinga pribadi, mazhab dan golongan. Metode mereka rata-rata lebih banyak berdasar pada asumsi ungkapan Majazi. E. Pendekatan Penafsiran Mu’tazilah Dilihat dari sumber tafsirnya, jelas, secara umum Mu’tazilah menggunakan epistemologi tafsir bi al-ra’yi. Meskipun nuansa linguistik cukup dominan digunakan, akan tetapi linguistic tersebut lebih kental dengan kajian balaghah yang tujuannya untuk mentakwilkan makna teks yang tidak sesuai dengan akal. Dengan demikian secara Umum pendekatan yang digunakan Tafsir Mu’tazilah adalah pendekatan subjektif. Pendekatan subyektif adalah pendekatan yang terkait dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Pada tafsir Mu’tazilah Nuansa pembelaan kepentingan golongan atau madzhabnya juga sangat kental. Hal ini minimal terbukti dari kekonsitenannya dalam mempertahankan al-ushul al-khamsah-nya. Kaum Mu’tazilah, dalam pandangan mereka itu, selalu berpedoman hanya pada akal, bahkan menjadikan para Nabi sebagai hujjah (bukti) atas kebenaran risalah ilahiyah, yaitu bahwa mereka (para Nabi) itu diutus oleh Allah untuk bertindak dengan menggunakan bukti-bukti akal dan para argumentasinnya. Adapun manfaat paling besar yang diambil Mu’tazilah dari persyaratan mereka dalam penafsiran Al-Quran yang sesuai dengan akal mengenai kebenaran-kebenaran agama adalah perlawanan mereka terhadap konsep-konsep khurafat (mitos) yang bertentangan dengan akal yang mana hal tersebut telah mapan pengaruhnya dalam agama. F. Contoh Penafsiran Mu’tazilah Berikut contoh penafsiran Mu’tazilah diambil dari kitab al-Kasysyaf karya al-Zamaksari. لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19) كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ (20) وَتَذَرُونَ الْآخِرَةَ (21) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23) وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ (24) تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ (25) الضمير في { بِهِ } للقرآن . وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا لقن الوحي نازع جبريل القراءة ، ولم يصبر إلى أن يتمها ، مسارعة إلى الحفظ وخوفاً من أن يتفلت منه ، فأمر بأن يستنصت له ملقياً إليه بقلبه وسمعه ، حتى يقضى إليه وحيه ، ثم يقفيه بالدراسة إلى أن يرسخ فيه . والمعنى : لا تحرّك لسانك بقراءة الوحي ما دام جبريل صلوات الله عليه يقرأ { لِتَعْجَلَ بِهِ } لتأخذه على عجلة ، ولئلا يتفلت منك . ثم علل النهي عن العجلة بقوله { إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ } في صدرك وإثبات قراءته في لسانك { فَإِذَا قرأناه } جعل قراءة جبريل قراءته : والقرآن القراءة { فاتبع قُرْءَانَهُ } فكن مقفياً له فيه ولا تراسله ، وطأمن نفسك أنه لا يبقى غير محفوظ ، فنحن في ضمان تحفيظه { ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ } إذا أشكل عليك شيء من معانيه ، كأنه كان يعجل في الحفظ والسؤال عن المعنى جميعاً ، كما ترى بعض الحراص على العلم؛ ونحوه { وَلاَ تَعْجَلْ بالقرءان مِن قَبْلِ إَن يقضى إِلَيْكَ وَحْيُهُ } [ طه : 114 ] ، { كَلاَّ } ردع لرسول الله صلى الله عليه وسلم عن عادة العجلة وإنكار لها عليه ، وحثّ على الأناة والتؤدة ، وقد بالغ في ذلك بإتباعه قوله : { بَلْ تُحِبُّونَ العاجلة } كأنه قال : بل أنتم يا بني آدم لأنكم خلقتم من عجل وطبعتم عليه تعجلون في كل شيء ، ومن ثم تحبون العاجلة { وَتَذَرُونَ الأخرة } وقرىء بالياء وهو أبلغ فإن قلت : كيف اتصل قوله { لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ } إلى آخره ، بذكر القيامة؟ قلت : اتصاله به من جهة هذا للتخلص منه ، إلى التوبيخ بحب العاجلة ، وترك الأهتمام بالآخرة . الوجه : عبارة عن الجملة والناضرة من نضرة النعيم { إلى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ } تنظر إلى ربها خاصة لا تنظر إلى غيره ، وهذا معنى تقديم المفعول ، ألا ترى إلى قوله : { إلى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ المستقر ( 12 ) } [ القيامة : 12 ] ، { إلى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ المساق ( 30 ) } ، { إِلَى الله تَصِيرُ الامور } [ الشورى : 53 ] ، { وإلى الله المصير } [ آل عمران : 28 ] ، { وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ } [ البقرة : 245 ] ، { عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ } [ هود : 88 ] ، كيف دلّ فيها التقديم على معنى الاختصاص ، ومعلوم أنهم ينظرون إلى أشياء لا يحيط بها الحصر ولا تدخل تحت العدد في محشر يجتمع فيه الخلائق كلهم ، فإنّ المؤمنين نظارة ذلك اليوم لأنهم الآمنون الذين لا خوف عليهم ولا هم يحزنون ، فاختصاصه بنظرهم إليه لو كان منظوراً إليه : محال ، فوجب حمله على معنى يصح معه الاختصاص ، والذي يصح معه أن يكون من قول الناس : أنا إلى فلان ناظر ما يصنع بي ، تريد معنى التوقع والرجاء . ومنه قول القائل : وَإذَا نَطَرْتُ إلَيْكَ مِنْ ملك ... وَالْبَحْرُ دُونَكَ زِدْتَني نِعَمَا وسمعت سروية مستجدية بمكة وقت الظهر حين يغلق الناس أبوابهم ، ويأوون إلى مقائلهم ، تقول : عيينتي نويظرة إلى الله وإليكم ، والمعنى : أنهم لا يتوقعون النعمة والكرامة إلا من ربهم ، كما كانوا في الدنيا لا يخشون ولا يرجون إلا إياه ، والباسر : الشديد العبوس ، والباسل : أشد منه ، ولكنه غلب في الشجاع إذا اشتد كلوحه { تَظُنُّ } تتوقع أن يفعل بها فعل هو في شدّته وفظاعته { فَاقِرَةٌ } داهية تقصم فقار الظهر ، كما توقعت الوجوه الناضرة أن يفعل بها كل خير . DAFTAR PUSTAKA Abdul ‘Adzim al-ZarQany, Muhammad. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. juz 2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby. 1995. Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam III. Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1963 Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Moderen. Yogyakarta: Elsaq Press. 2006. Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. 2004. Muhammad, Abul Qasim bin Umar az-Zamakhsyari. al-Kasysyaf. juz 7. (Maktabah syamilah). Muhammad Abu Zahrah, Imam. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Penerjemah Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta: Logos Publising House. 1996. Muthahhari, Murtadha. Mengenal Ilmu Kalam, penerjemah Ilyas Hasan. Jakarta: Pustaka Zahra. 2002. Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. 1986. Saeed Shaikh, M. Studies in Muslim Philosophy. Delhi: Shah Offset Printer. 1994. Suryadilaga , M. Alfatih, Dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2010. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008. Hambawang, Metode Tafsir Mu’tazilah, http://hambawang.blogspot.com/2009/06/metode-tafsir-mutazilah.html diakses pada 11 april 2012, Pukul 12:53 WIB.

Kamis, 14 Juni 2012

al-Khazin: Lubab al-Ta'wil fi ma'ani al-tanzil


AL-KHAZIN: LUBAB AT TA'WIL FI MA'ANI AL-TANZIL
A.    Biografi al-Khazin
Nama lengkap al-Khazin adalah ‘Ala’ al-Din Abu Hasan ‘Ali Abu Muhammad ibn Ibrahim ibn ‘Umar ibn Khalil al-Syaikhi (dinisbahkan kepada Syaibah, tukang pemeras susu) al-Bahgdadi al-Syafi’i al-Khazin. Beliau lahir di Baghdad pada tahun 678 H dan wafat tahun 741 H di kota Halb (Aleppo).[1] Melihat dari namanya beliau merupakan salah satu penganut  madzhab Syafi’i dan termasuk golongan sufi. Termasyhur dengan al-Khazin karena beliau menjadi penjaga (khazin) kitab-kitab yang berada di percetakan atau perpustakaan buku-buku khanaqah (majlis tasawuf) al-Samaisatiyyah di Damaskus.[2]
Beliau adalah seorang yang bekerja di perpustakaan dan mempunyai minat besar terhadap tafsir, sehingga sudah barang tentu banyak membaca kitab-kitab tafsir yang ada dalam tanggung jawabnya. Dia mengagumi beberapa kitab tafsir dan berusaha menulis tafsirannya sendiri. Di samping itu ia dikenal sebagai tokoh sufi (mutasawwif), selain sebagai juru dakwah.[3]
Sesuatu yang sering merancukan ketika menelaah karya klasik Islam adalah adanya dua nama al-Khazin, yang keduanya mempunyai reputasi yang handal, yakni al-Khazin seorang mufasir (yang tafsirnya sedang menjadi bahasan) yang hidup sampai abad VIII H, dan al-Khazin seorang ahli astronomi besar yang hidup sampai abad IV H. Karena itulah, mungkin, dalam First Encyclopedia of Islam Brill (yang dieditori Hotsma, M.th, dan kawan-kawan), al-Khazin ahli astronomilah yang dicantumkan, sedang al-Khazin yang menjadi bahasan tulisan ini tidak dicantumkan.
Dalam memperhatikan ilmunya, al-Khazin berguru kepada Ibn al-Dawalibi ketika masih di Baghdad. Kemudian ketika berada di Damaskus beliau menimba ilmu kepada al-Qasim ibn Mudaffir dan wazirah binti ‘Umar. Beliau sangat sibuk dengan aktifitas-aktifitas ilmiah, sehingga tidak mengherankan kalau kemudian pada akhir namanya diletakkan predikat “al-Khazin”, bahkan di kalangan tokoh mufasir, beliau lebih dikenal dengan nama al-Khazin dari pada nama sebenarnya. Hal ini tidak lain karena kapasitas keilmuan al-Khazin mencakup berbagai macam ilmu pengetahuan. Kenyataan ini dikuatkan oleh Ibn Qadi Syahbah, yang menegaskan al-Khazin sebagai ilmuan yang mumpuni dalam banyak bidang di mana integritas keilmuannya tampak nyata dalam karya-karyanya.
Di samping itu, karya-karya beliau yang ditinggalkan sudah barang tentu dapat dijadikan bukti bahwa al-Khazin memang termasuk ulama besar. Di antara karya-karya beliau adalah : Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil. Juga Syarh ‘Umdah al-Ahkam dan Maqbul al-Manqul, sebuah kitab dalam bidang hadis yang terdiri dari sepuluh jilid. Dalam karyanya yang terakhir ini, al-Khazin mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam Musnad al-Syafi’i, Musnad Ahmad bin Hambal, Kutub al-Sittah, al-Muwatta’, dan Sunan al-Dar al-Quthni dengan disistematisasikan urutannya bab demi bab. Selain karya-karya di atas, al-Khazin juga menyusun kumpulan tentang Sirah Nabawiyah yang diulasnya secara panjang lebar. Dengan demikian nama al-Khazin mencuat bukan hanya karena tafsirnya saja, tetapi juga lewat karyanya dalam disiplin Ilmu Hadis, atau dengan kata lain al-Khazin adalah seorang ulama besar,  yang tidak hanya mahir dalam bidang tafsir saja.
Pribadi al-Khazin, sebagaimana yang diterangkan Abu Syahbah dan al-Zahabi, adalah seorang ulama sufi yang memiliki kepribadian dan kelakuan yang sangat baik. Beliau juga mahir dalam bidang tafsir serta hadis. Selain berperangai luhur, beliau juga berwajah tampan. Beliau meninggal kurang lebih tujuh abad yang lalu di salah satu sudut kota Halb.[4]

B.     Karakteristik Tafsir al-Khazin
Apabila kita membuka karya al-Khazin ini, maka pada covernya kita akan membaca judul besar yang berbunyi : تفسير الخازن (Tafsir al-Khazin), hingga secara selintas bisa saja nama itu dianggap sebagai nama resmi kitab tersebut. Barulah pada sub judul kita menemukan bahwa kitab tafsir tersebut bernama لباب التأويل في معاني التنزيل dan itulah nama yang sebenarnya. Hal ini lebih ditegaskan al-Khazin sendiri dalam muqaddimah tafsirnya : وسميته لباب التأويل في معاني التنزيل. Dapatlah sekarang diambil pemahaman bahwa nama resmi dari kitab tafsir karya al-Khazin adalah : لباب التأويل في معاني التنزيل  (pilihan penakwilan tentang makna-makna al-Qur`an). Tafsir ini terdiri atas 4 (empat) jilid. Dengan tebal halaman antara 2160-2250. Sedangkan nama Tafsir al-Khazin, itu kiranya bisa dipandang sebagai suatu konversionalitas orang dalam menyebut suatu karya tafsir atau karya lainnya, yang mungkin saja karena alasan praktis saja, dan mungkin juga untuk mengkaitkannya dengan popularitas pengarangnya.[5]

C.    Latar Belakang, Sistematika dan Manhaj Penyusunan Tafsir al-Khazin
1.      Latar belakang penyusunan
Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil ini selesai disusun oleh al-Khazin pada hari Rabu, tanggal 10 Ramdhan tahun 725 H. Karya ini pada awalnya didedikasikan untuk menjadi sebuah ringkasan dari kitab tafsir Ma’alim al-Tanzil Karya al-Baghawi. Hal ini diketahui dari ungkapan al-Khazin sendiri dalam muqaddimah kitab tafsirnya, “Tatkala saya mencermati kitab Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi …. Kuatlah keinginan dalam hati saya untuk memilah-milah faidah yang cemerlang dari yang menipu.., ke dalam sebuah “muhtasar’ yang menghimpun makna tafsir dan esensi (lubab) ta’wil dan ta’bir”.[6]
Menurut informasi yang diberikan Ibn Taimiyah dalam Muqadimah fi Ushul al-Tafsir, tafsir karya al-Bagawi tersebut juga merupakan ikhtisar dari tafsir karya al-Sa’labi (yang bernama al-Kasyf wa al-bayan ‘an Tafsir al-Qur'an). Dalam karya tersebut, al-Bagawi menghindarkan tafsirnya dari hadis-hadis maudhu’ serta pandangan-pandangan bid’ah. Keterpautan kehidupan antara al-Bagawi dan al-Sa’labi tidak begitu jauh, mengingat al-Sa’labi wafat pada tahun 428 H.
Sebagai suatu ikhtisar, tentu di dalamnya banyak berisi nukilan. Bahkan al-Khazin sendiri secara terbuka dalam muqaddimah tafsirnya menyatakan apa yang ia lakukan bukanlah merefleksikan segenap pemikirannya sendiri dalam penafsiran, tetapi sekadar menukil dan menyeleksi dari kitab induknya, Ma’alim al-Tanzil. Hal ini semakin memberikan kejelasan akan posisinya sebagai mukhtasir (orang yang membuat ringkasan).
Pilihan al-Khazin kepada tafsir Ma’alim al-Tanzil karya al-Bagawi tentunya bukan sesuatu kebetulan yang tanpa tendensi. Akan lebih tepat kiranya kalau dikatakan bahwa hal itu berlatar belakang “tingginya kualifikasi tafsir Ma’alim al-Tanzil” dalam persepsi al-Khazin. Terbukti al-Khazin sendiri mengatakan bahwa tafsir tersebut sebagai produk karya ilmu tafsir yang tinggi kualitasnya. Di samping itu, dalam pandangan al-Khazin, al-Bagawi, dengan nama lengkap Abu Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Bagawi, dianggap memiliki kualitas intelektual yang tinggi dan patut menjadi panutan umat. Pujian senada juga dilontarkan oleh Mani’ ‘Abd al-Halim Mahmud kepada al-Bagawi dalam Manahij al-Mufassirin-nya yang menyatakan bahwa al-Bagawi sebagai pribadi yang berpegang teguh pada al-Qur'an dan sunnah sangat tinggi integritas keilmuannya dan sastra karya tafsirnya yang ia susun berdasar keahliannya membawa faedah yang besar.
Jelasnya, pemilihan al-Khazin terhadap Ma’alim al-Tanzil tersebut cukup beralasan. Adapun tentang berbagai pujian yang dilontarkan di atas, hal itu bukanlah klaim mutlak yang haram dipertentangkan. Apakah sanjungan itu memang realistis (dengan fakta objektif), atau hanya karena subjektifitas saja (misalnya karena semazhab), ataukah justru pujian itu hanya ungkapan hiperbolisme versi arab. Kemungkinan-kemungkinan tersebut tentu memerlukan verifikasi lanjut.[7]
2.      Sistematika penyusunan tafsir al-Khazin
Dalam kaitannya dengan sistematika penyusunan kitab tafsir, perlu diketahui adanya tiga sistematika penyusunan tafsir yang dikenal dikalangan para ahli tafsir yaitu: tartib mushafi (urutan ayat dan surat), tartib nuzuli (urutan kronologi turunnya surat-surat), dan tartib maudhu’i (urutan sesuai tema).
Al-Khazin dalam tafsirannya telah menempuh sistematika yang pertama (tartib mushafi), yakni menafsirkan al-Qur’an menurut susunan urutannya dalam mushaf. Dalam kaitannya ini al-Khazin telah merampungkan penafsiran seluruh ayat al-Qur’an, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Nas. Cara seperti ini sebelumnya pernah ditempuh –misalnya- oleh Ibnu Jarir al-Tabari (224-310 H) dalam Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an. Berbeda dengan cara yang ditempuh -misalnya- oleh al-Qurthubi (w. 671 H), al-Sayyid Muhammad Rasyid Rida, Ahmad Mushtafa al-Maraghi dan Jamal al-Din al-Qasimi, yang menempuh cara pengelompokan ayat-ayat yang berada di suatu tempat yang masih dalam satu konteks pembicaraan.[8]
Kemudian dari itu, dalam menukil qaul-qaul yang terdapat dalam kitab al-Baghawi, al-Khazin sengaja membuang sanad-sanadnya agar ringkas dan menyandarkan sanad kepada kitab tersebut. Adapun mengenai nukilan yang disandarkan pada hadis dan khabar dari Rasulullah SAW, hanya disebutkan rawi pertama dari Sahabat, kemudian disebutkan mukharrij-nya dengan perlambangan huruf; al-Bukhari dilambangkan dengan huruf Jim (ج), Muslim dilambangkan dengan huruf Mim (م), bila hadis yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim dilambangkan dengan huruf Qaf (ق). Bila dinukil dari kitab Sunan, seperti Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi dan lain-lain, disebutkan nama pengarang tanpa perlambangan. Bila dinukil dari al-Baghawi dengan sanadnya sendiri, al-Khazin menerangkan dengan ungkapan روى البغوى بسنده, dan bila dinukil dari al-Baghawi dengan sanad al-Tha’labi, al-Khazin menyebutkan dengan ungkapan روى البغوى باسناد الثعلبى . Dan bila tidak ditemukan dalam riwayat-riwayat di atas, al-Khazin berijtihad sendiri dengan mengambil dari berbagai kitab, seperti Jami’ al-Ushul karya Ibn al-Athir Al-Jaziri, al-Jam’ bain al-Sahihain Karya al-Hamidi, kemudian al-Khazin juga memberi penjelasan terhadap hadits gharib seperlunya.[9]

Al-Khazin mengawali tafsirnya dengan lima Fasl:
a.       Tentang keutamaan Al-Qur’an, membaca dan mempelajarinya;
b.      Ancaman bagi orang yang mengatakan sesuatu terhadap –dan di dalam- al-Qur’an dengan Ra’yi-nya tanpa ‘Ilm, dan ancaman bagi orang yang dianugerahi hafal al-Qur’an lalu lupa dan tidak bersungguh-sungguh mengulanginya;
c.       Tentang pengumpulan al-Qur’an dan tertib turunnya, dan tentang al-Qur’an yang diturunkan dengan tujuh huruf;
d.      Tentang al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf dan pendapat-pendapat seputar masalah tersebut, dan;
e.       Tentang makna tafsir dan ta’wil. Kemudian mulai menafsirkan al-Qur’an, dari Ta’awwuz hingga akhir Surat Al-Nas.[10]
3.      Manhaj Penyusunan Tafsir al-Khazin
Menurut ‘Abd al-Hayy al-Farmawi ada empat manhaj yang digunakan para mufassir yaitu manhaj tahlili, manhaj ijmali, manhaj muqaran, manhaj maudhu’i. al-Khazin dalam tafsirannya mengikuti manhaj tahlili, yaitu manhaj yang berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an dan mengungkapkan segenap pengertian yang ditujunya. Dalam hal ini, al-Khazin yang mengikatkan diri pada sistematika tartib mushafi dalam menjelaskan al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat, menyingkap segi pertautan (munasabah) dan memanfaatkan bantuan asbab al-nuzul, hadits-hadits nabi dan riwayat-riwayat para sahabat dan tabi’in dalam mengungkapkan petunjuk ayat. Kadangkala semua ini dipadukan pula dengan hasil pemikiran dan keahliannya dan kadang pula diikuti dengan kupasan bahasa.
Penafsiran al-Qur’an dengan manhaj tahlili ini memiliki corak dan orientasi yang berbeda-beda, sejalan dengan corak dan orientasi masing-masing mufassir. Dalam hal ini, al-Farmawi memilahnya dalam tujuh corak dan orientasi yaitu Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, Tafsir Sufi, Tafsir Fiqhi, Tafsir Falsafi, Tafsir Ilmi dan Tafsir Adabi Ijtima’i.
Corak dan orientasi yang mewarnai manhaj tahlili dalam tafsir al-Khazin adalah tafsir bi al-Ra’yi yang mahmud (terpuji). Dalam penafsirannya, penulis juga menggunakan beberapa riwayat dan cerita sejarah atau kisah-kisah untuk memperkuat argumentasinya. Riwayat atau cerita yang dimasukkan itu kadang-kadang dijelaskan sumbernya. al-Khazin memulai tafsirnya dengan mengemukakan arti kosa kata, kemudian diikuti dengan penjelasan maksud ayat secara global. Dalam kajiannya, mufassir ini juga mengemukakan munasabah atau kolerasi ayat-ayat serta menjelaskan bentuk hubungan antara satu ayat dengan ayat lain. Selain itu, mufassir juga menerangkan latar belakang turunnya atau asbab al-nuzul dan menopang uraian dengan hadis, pendapat sahabat, pendapat ulama, dan pandangan mufassir sendiri.[11]
Data yang ditafsirkan dengan pendekatan sejarah biasanya berkenaan dengan kehidupan sosio kultural masyarakat Arab ketika suatu ayat diturunkan. Hal ini berpijak pada suatu landasan faktual bahwa terdapat ayat-ayat al-Qur'an yang diturunkan berkaitan dengan peristiwa-peristiwa atau kasus-kasus tertentu. Teknik semacam ini sudah dikenal dan bahkan dipergunakan sejak masa sahabat.[12]
Namun, ternyata para ulama terjadi perbedaan argumen mengenai penentuan apakah Tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil masuk dalam kategori tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-ma’tsur, meski al-Zahabi, Subhi al-Shalih dan lain-lain memasukkan dalam tafsir bi al-Ra’yi. Pangkal kesulitan penulis terletak pada permasalahan, bagaimana mungkin suatu kitab tafsir yang disusun berdasarkan ikhtisar tafsir yang bercorak ma’tsur (tafsir al-Baghawi dan tafsir karya al-Sa’labi keduanya bercorak ma’tsur) bisa bercorak bi al-ra’yi? Apakah dalam “pentransferan total” seperti itu (ingat kata al-Khazin bahwa yang ia lakukan dalam tafsirnya bukanlah merupakan refleksi segenap pemikirannya, tetapi sekadar menukil dan menyeleksi yang tertera dalam kitab induknya) bisa mengakibatkan terjadinya distorsi corak suatu tafsir? Di antara sebab yang memungkinkan dimasukkannya tafsir al-Khazin ke dalam corak tafsir bi al-ma’tsur ialah adanya realitas bahwa tafsir ini mengumpulkan nukilan dari berbagai kitab tafsir yang ada sebelumnya.
Berpijak dari realitas bahwa Tafsir al-Khazin merupakan resume tafsir bi al-ma’tsur, al-Khazin juga banyak memasukkan riwayat israiliyat. Dengan demikian, menurut penulis, tafsir al-Khazin pada dasarnya merupakan tafsir bi al-ra’yi yang cenderung ma’tsur –dimasukkannya suatu kitab tafsir dalam corak bi al-ra’yi tidak berarti menutup kemungkinan si mufassir untuk memasukkan riwayat dalam penafsirannya, karena pengklasifikasian ayat tersebut hanyalah min bab al-taglib.[13]

D.    Perhatian al-Khazin terhadap sejarah, fiqih, mau’izah dan Israiliyat
1.      Perhatian al-Khazin terhadap sejarah
Atensi al-Khazin terhadap sejarah memang cukup tinggi. Terbukti beliau memberikan porsi atensi yang relative banyak terhadap kisah-kisah perang Nabi dalam membahas ayat al-Qur’an. Contohnya ketika beliau menafsirikan Qs. al-Ahzab (33): 27:  
öNä3rOu÷rr&ur öNåkyÎör& öNèdt»tƒÏŠur öNçlm;ºuqøBr&ur $ZÊör&ur öN©9 $ydqä«sÜs? 4 šc%x.ur ª!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #\ƒÏs%
“Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak[14]. dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.”
Beliau menyebutkan tentang peperangan Ibnu Qura’dah, dengan sangat gamblang dan mendetail. Demikian juga ketika beliau menafsirkan Qs. Al-Ahzab (33): 9, beliau menyebutkan perang Khandaq dengan mendetailnya.[15]
2.      Perhatian al-Khazin terhadap fiqih
Perhatian al-Khazin pada bidang fiqih ditunjukannya manakala berhadapan dengan ayat-ayat ahkam dan sekaligus hal itu menunjukkan kecakapannya dalam bidang tersebut. Misalnya ketika menafsirkan surat al-Baqarah (2): 228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym  
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Beliau berpegang pada madzhab Hanafi dan Syafi’i dalam masalah iddah bagi wanita yang haidl. Kemudian beliau mengatakan, bahwa sehubungan dengan hukum iddah ini ada empat permasalahan, pertama, iddah orang hamil, kedua, iddah wanita yang ditalaq setelah dukhul biha dan ketiga, iddah alima. Keterangan fiqhiyah seperti ini juga nampak ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah (2): 226.
3.      Perhatian al-Khazin terhadap mau’idzah
Selain diwarnai dengan berbagai macam bidang ilmu seperti tersebut di atas, tafsir ini juga diwarnai dengan mawa’iz (nasehat-nasehat). Warna ini tentunya tidak bisa dilepaskan dengan kepribadian al-Khazin yang cenderung kepada sufisme. Kecenderungan seperti ini nampak misalnya, ketika menafsirkan Qs. Al-Sajadah (32): 16:
4nû$yftFs? öNßgç/qãZã_ Ç`tã ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# tbqããôtƒ öNåk®5u $]ùöqyz $YèyJsÛur $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZム 
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Pembahasan ayat ini beliau bagi sampaikan secara khusus tentang shalat malam dan anjuran untuk mengerjakannya ( فصل في قيام الليل والحيث عليه) untuk menguatkan penafsirannya, beliau kemudian menunjuk pada hadits-hadits Nabi, yang kesemuanya berkisar pada hadits al-Bukhari, Muslim dan al-Tirmidzi.[16]
4.      Perhatian al-Khazin terhadap cerita Israiliyat
Al-Qur'an banyak membicarakan kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu, namun hanya secara singkat dan hanya menitikberatkan pada sisi nasihat dan ibrahnya. Pengetahuan tentang Yahudi dan Nasrani  hampir semuanya telah dijelaskan dalam kitab mereka masing-masing, yaitu Taurat dan Injil. Dengan alasan inilah banyak riwayat orang Yahudi dan Nashrani (yang telah muslim) untuk dijadikan penjelas dari kisah yang terdapat dalam al-Qur'an.[17]
Dimensi yang telah mengandung kritik tajam atas Tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil adalah dalam masalah cerita Israiliyyat. Kelemahan yang banyak disoroti yang terdapat dalam tafsir ini adalah kurang kritisnya al-Khazin dalam menukil cerita Israiliyyat. Ketika menukil cerita-cerita Israiliyyat dalam melengkapi penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an, al-Khazin sering kali tidak menyebutkan dari mana sumbernya atau silsilah penyampai riwayat tersebut. Ia sering kali pula tidak mengemukakan komentar ataupun ulasan terhadap informasi cerita-cerita Israiliyyat yang jelas-jelas bertentangan dengan rasio. Misalnya penafsiran terhadap QS. al-Baqarah (2): 102 tentang Harut Marut, Qs. al-Anbiya’ (21): 83-84 tentang kisah Nabi Ayyub; Qs. Al-Kahfi (18): 10 tentang Kisah Ashab al-Kahfi; Qs. Sad (38): 21-24 tentang Nabi Dawud dan lain-lainnya.[18]
Dari beberapa ayat yang ditafsirkan dengan penafsiran Israiliyat, secara mayoritas beliau mengambil periwayatan dari Ibnu Abbas. Ada dua orang yang sering dijadikan sumber oleh Ibnu Abbas dalam periwayatan Israiliyatnya, dua orang Yahudi yang telah memeluk Islam yakni Ka’ab al-Ahbar (Akhu al-Ahbar) dan Abdullah bin Salam.[19] Namun sebagaimana dalam penjelasan di atas bahwa dalam proses ikhtishar yang dilakukan al-Khazin dari kitab milik al-Baghawi, beliau telah menghilangkan beberapa sanad hadis dan hanya menulis rawi al-a’la-nya saja. Sehingga dalam tafsir isroiliyatnyapun, penulis juga tidak menemukan secara detail periwayatan yang dilakukan Ibnu Abbas itu, apakah benar-benar didapat dari Ka’ab al-Ahbar (Akhu al-Ahbar) dan Abdullah bin Salam.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa ahli kitab yakni sekelompok orang yang kepadanya terdapat peringatan agar seseorang berhati-hati dalam menerima pendapat mereka. Oleh sebab itu, penulis memberikan analisa bahwa salah satu sebab al-Khazin tidak menyebutkan sanad Israiliyat secara lengkap karena beliau ingin berhati-hati dalam menerima riwayat israiliyat sebagaimana alasan di atas.
Seperti firman Allah SWT surat al-Baqarah (2): 102:
!$tBur…. tAÌRé& n?tã Èû÷üx6n=yJø9$# Ÿ@Î/$t6Î/ |Nr㍻yd šVr㍻tBur ….
Artinya: ”…dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut…”.
Menurut al-Khazin seluruh ulama sepakat bahwa malaikat itu maksum (terpelihara dari dosa) dari segi keutamaannya. Dan para Imam mazhab juga sepakat bahwa para utusan malaikat sama dengan para Nabi. Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai malaikat yang bukan utusan. Muhaqqiqin dan Mu`tazilah berpendapat bahwa seluruh malaikat itu terpelihara dari maksiat dan dosa. Sementara pendapat lain menyebutkan bahwa malaikat yang bukan utusan itu tidak terpelihara dari dosa, seperti misalnya kisah malaikat Harut dan Marut. Menurut al-Kahzin pendapat yang kuat dalam hal ini adalah bahwa malaikat itu tidak berbuat dosa sebagaimana di ambil dari pendapat Ali bin Thalib, Ibnu Mas`ud, Ka`ab dan dinukilkan dari para ahli sejarah. Ucapan Harut dan Marut melakukan dosa adalah besumber dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.
5.      Fawatih al-suwar
Mengenai ayat fawatih al-suwar, al-Khazin tidak selalu meresponnya. Kadang-kadang beliau menafsiri seperti pada ayat المص pada awal surat al-A’raf dan يس, dan pada surat lain beliau juga membiarkan begitu saja seperti pada awal surat al-Baqarah, ali Imran dan awal surat Ibrahim. Akan tetapi secara mayoritas beliau lebih banyak merespon ayat fawatih al-suwar dari pada membiarkannya. Contoh pada awal surat al-A’raf, al-Khazin menafsirkan المص  sebagai berikut:
Menurut Ibnu Abbas المص adalah salah satu dari sumpah Allah terhadap al-Qur'an dan merupakan salah satu dari nama Allah. Menurut Qatadah المص adalah salah satu nama lain dari al-Qur'an. Menurut Hasan المص adalah nama dari surat ini dan al-Sadiy berkata bahwa المص merupakan nama lain dari suear al-A’raf. Menurut Abu al-‘Aliyah ا  (alif) adalah lambang atau sombol dari الله, ل lambang dari لطيف, م lambang dari مجيد dan ص lambang dari صديق  dan صبور.[20]

E.     Pandangan Ulama Terhadap Tafsir al-Khazin
Tafsir al-Khazin merupakan ringkasan dari Tafsir Baghawi sebagaimana hal itu telah dikemukakan oleh Imam Khazin di dalam muqaddimahnya, dan Tafsir Baghawi adalah ringkasan dari Tafsir Tsa’labi, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Ketika Khazin mengemukakan cerita-cerita Israiliyat di dalam tafsirnya, ia tidak mempergunakan satu sistem tertentu di dalam periwayatannya. Ia mengemukakan kisah yang di dalamnya terdapat hal-hal yang ganjil, hanya saja tidak berkaitan dengan akidah. Kita mendapatkannya ia tidak memberikan komentar sama sekali walaupun hanya satu kalimat, dan tidak memberikan gambaran tentang mungkarnya kisah tersebut.[21]

F.     Kelebihan dan Kelemahan Tafsir al-Khazin
1.      Kelebihan Tafsir al-Khazin
Ada beberapa kelebihan atau keunggulan yang dimiliki tafsir al-Khazin yaitu sebagai berikut:
a.       Tafsir al-Khazin adalah sebuah tafsir terkenal ra’yi yang cenderung ma’tsur karena menyebutkan seluruh peristiwa dengan menyebutkan sanad serta argumentasi atau nama-nama para ulama yang berpendapat terhadap suatu persoalan.
b.      Redaksi tafsir al-Khazin sangat mudah dan gampang, tidak berbelit-belit dan tidak sulit untuk dipahami baik bagi kalangan ulama maupun kelompok awam.
c.       Memperluas riwayat dan kisah-kisah, di mana hal ini jarang dimiliki tafsir lainnya.
d.      Kadang-kadang dalam ayat tafsirnya ia menyebutkan riwayat atau cerita-cerita Israiliyat dengan maksud memperingatkan hal yang batil, kemudian ia menuturkan kisah-kisah yang panjang lalu menunjukkan kelemahan dan kedustaannya.
2.      Kelemahan Tafsir al-Khazin
Di samping beberapa keutamaan atau kelebihan yang dimiliki tafsir al-Khazin, juga terdapat beberapa kekurangan atau kelemahan dari tafsir ini yaitu:
a.       Secara global tafsir al-Khazin bagus dan indah, kalau saja di dalamnya tidak banyak menyebutkan kisah-kisah dan riwayat yang tidak baik disebutkan, karena lemah dan tidak benar.
b.      Dalam pembahasannya kadang-kadang tafsir ini tidak menyebutkan sanad dari riwayat-riwayat yang dituturkannya.
c.       Dengan riwayat atau kisah-kisah yang panjang membuat pembaca jenuh dan bosan.
d.      Dalam merampungkan cerita atau suatu riwayat, tafsir al-Khazin tanpa memberikan komentar dan menyatakan kecurigaan akan adanya manipulasi dan kelemahan dalam suatu kisah yang dituturkannya.[22]


G.    Contoh Penafsiran al-Khazin
1.      Tentang munasabah, firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah(2): 34:
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ  
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”
Menurut al-Khazin perintah ini ditujukan kepada seluruh Malaikat dengan dalil Firman Allah surat Shaad (38): 73:
yyf|¡sù èps3Í´¯»n=yJø9$# öNßg=à2 tbqãèuHødr& ÇÐÌÈ  
Artinya: “Lalu seluruh Malaikat itu bersujud semuanya.”(Shaad (38):73)
Menurutnya yang dimaksud dengan sujud disini adalah sujud sebagai penghormatan bukan sujud sebagai menyembah atau ibadah, seperti sujud saudara-saudara Nabi Yusuf AS kepada Nabi yusuf AS. Dengan demikian makna sujud adalah taat dan menjunjung tinggi perintah Allah.
Menurutnya, Iblis nama asalnya adalah `Izzazil bahasa Suryani, dan dalam bahasa Arab namanya al-Harts. Ketika Iblis berbuat dosa nama dan rupannya berubah menjadi Iblis. Menurut Ibnu `Abbas bahwa Iblis merupakan golongan Malaikat. Pendapat lain menyatakan bahwa ia berasal dari golongan Jin, karena ia diciptakan dari api, sementara malaikat diciptakan dari Nur. Pendapat terkuat menurut al-Khazin adalah pendapat pertama, yakni Iblis merupakan golongan malaikat.[23]
قوله عز وجل : { وإذ قلنا للملائكة اسجدوا لآدم } قيل هذا الخطاب كان مع الملائكة الذين كانوا سكان الأرض والأصح أنه خطاب مع جميع الملائكة بدليل قوله : { فسجد الملائكة كلهم أجمعون إلا إبليس } { فسجدوا } يعني الملائكة وفي هذا السجود قولان أصحهما أنه كان لآدم على الحقيقة ولم يكن فيه وضع الجبهة على الأرض وإنما هو الانحناء وكان سجود تحية وتعظيم لا سجود عبادة كسجود إخوة يوسف له في قوله : { وخروا له سجداً } فلما جاء الإسلام أبطل ذلك بالسلام . وفي سجود لآدم معنى الطاعة لله تعالة والامتثال لأمره . والقول الثاني أن آدم كان كالقبلة ، وكان السجود لله تعالى ، كما جعلت الكعبة قبلة للصلاة والصلاة لله تعالى ، وفي هذه الآية دليل لمذهب أهل السنة في تفضيل الأنبياء على الملائكة { إلاّ إبليس } سمي به لأنه إبلس من رحمة الله أي يئس ، وكان اسمه عزازيل بالسريانية وبالعربية الحارث فلما عصى غير اسمه فسمي إبليس وغيرت صورته قال ابن عباس كان إبليس وغيرت صورته قال ابن عباس كان إبليس من الملائكة بدليل أنه استثناه منهم وقيل إنه من الجن لأنه خلق من النار ولملائكته خلقوا من النور ولأنه أصل الجن كما أن آدم أصل الإنس والأول أصح لأن الخطاب كان مع الملائكة فهو داخل فيهم ثم استثناه منهم { أبى } أي امتنع من السجود فلم يسجد { واستكبر } أي تكبر وتعظم عن السجود لآدم { وكان من الكافرين } أي في علم الله تعالى فإنه وجبت له النار لسابق علم الله تعالى بشقاوته ( م ) عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إذا قرأ ابن آدم السجدة فسجد اعتزل الشيطان يبكي يقول يا ويله » وفي رواية يا ويلتاه أمر ابن آدم بالسجود فسجد فله الجنة وأمرت بالسجود فعصيت فلي النار.[24]
2.      Fawatih al-Suwar, QS. al-A’raf: 1.
قوله عز وجل { المص } قال ابن عباس : معناه أنا الله أفصل وعنه أنا الله أعلم وأفصل وعنه أن المص قسم أقسم الله به وهو اسم من أسماء الله تعالى ، وقال قتادة : المص اسم من أسماء القرآن ، وقال الحسن : هو اسم للسورة ، وقال السدي : هو بعض اسمه تعالى المصور ، وقال أبو العالية : الألف مفتاح اسمه الله واللام مفتاح اسمه لطيف والميم مفتاح اسمه مجيد والصاد مقتاح صادق وصبور . وقيل : هي حروف مقطعة استأثر الله تعالى بعلمها وهي سره في كتابه العزيز ، وقيل : هي حروف اسمه الأعظم وقيل هي حروف تحتوي معاني دل الله بها خلقه على مراده وقد تقدم بسط الكلام على معاني الحروف المقطعة أوائل السور في أول سورة البقرة .[25]
3.      Israiliyat, QS. al-Baqarah : 102.
وقيل : إن الله تعالى امتحن الناس بهما في ذلك الزمان فالشقي من تعلم السحر منهما فيكفر به والسعيد من تركه فيبقى على إيمانه ، ولله تعالى أن يمتحن عباده بما شاء كما امتحن بني إسرائيل بنهر طالوت بقوله : { فمن شرب منه فليس مني ومن لم يطعمه فإنه مني } { ببابل } قيل : هي بابل العراق بأرض الكوفة سميت بذلك لتبلبل الألسنة بها عند سقوط صرح نمرود . وقيل : إنها بابل نهاوند والأول أصح أشهر { هاروت وماروت } اسمان سريانيان . وقصة الآية على ما ذكره ابن عباس وغيره . قالوا : إن الملائكة لما رأوا ما يصعد إلى السماء من أعمال بني آدم الخبيثة في زمن إدريس عليه السلام عيروهم . وقالوا : هؤلاء الذين جعلتهم في الأرض واخترتهم وهم يعصونك فقال الله تعالى : لو أنزلتكم إلى الأرض وركبت فيكم ما ركبت فيهم لركبتم مثل ما ركبوا قالوا : سبحانك ما كان ينبغي لنا أن نعصيك قال الله تعالى : وركبت فيكم ما ركبت فيهم ركبتهم مثل ما ركبوا قالوا : سبحانك ما كان ينبغي لنا ان نعصيك قال الله تعالى : فاختاروا ملكين من خياركم أهبطهما إلى الأرض فاختاروا هاروت وماروت ، وكانا من أصلح الملائكة وأعبدهم وكان اسم هاروت عزا وماروت عزايا ، فغير اسمهما لما قارفا الذنب وركب الله فيهما الشهوة وأهبطهما إلى الأرض وأمرهما ان يحكما بين الناس بالحق ونهاهما عن الشرك ، والقتل بغير الحق والزنا وشرب الخمر ، فكانا يقضيان بين الناس يومهما فإذا أمسيا ذكرا اسم الله الأعظم وصعدا إلى السماء فما مر عليهما شهر حتى افتتنا .[26]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Nama lengkap al-Khazin adalah ‘Ala’ al-Din Abu Hasan ‘Ali Abu Muhammad ibn Ibrahim ibn ‘Umar ibn Khalil al-Syaikhi (dinisbahkan kepada Syaibah, tukang pemeras susu) al-Bahgdadi al-Syafi’i al-Khazin.
2.      Judul besar tafsirnya adalah تفسير الخازن (Tafsir al-Khazin), namun sebenarnya nama resmi dari kitab tafsir karya al-Khazin adalah : لباب التأويل في معاني التنزيل  (pilihan penakwilan tentang makna-makna al-Qur`an). Tafsir ini terdiri atas 4 (empat) jilid. Dengan tebal halaman antara 2160-2250.
3.      Kitab tafsir al-Khazin merupakan ikhtisar dari kitab Tafsir al-Baghawi (Ma’alim al-Tanzil).
4.      Tafsir al-Khazin berbentuk ra’yi yang cenderung ma’tsur, dengan menggunakan pendekatan disipliner (sosio-historis).
5.      Metode yang dipakai adalah tahlili dengan penulisan tartib mushafi yakni mulai al-Fatihah sampai al-Nas.
6.      Tafsir al-Khazin memiliki kecenderungan (naz’ah) penafsiran pada aspek kesejarahan.
7.      Beliau juga menafsirkan ayat kisah-kisah Nabi atau umat terdahulu dengan penafsiran Israiliyat melalui riwayat Ibnu Abbas.
8.      Al-Khazin juga menggunakan munasabah antar ayat dalam tafsirannya.

B.     Saran
Figur al-Khazin merupakan satu dari banyak ulama yang memiliki kapasitas dan kapabilitas intelektual yang tinggi. Dengan adanya tafsir al-Khazin diharapkan kepada calon ahli tafsir terutama, untuk selalu mengekploitasi daya pikirnya sehingga paling tidak bisa sejajar dengan intelektual al-Khazin, atau bisa menggali pemahaman-pemahaman yang ditelorkan oleh al-Khazin dalam kitab tafsirnya. Sehingga, pada akhirnya dapat menyalurkan ilmunya untuk kepentingan agama dan Indonesia pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

al-Bahgdadi, Imam `Alau al-Din `Ali bin Muhammad bin Ibrahim. Tafsir al-Khazin, Juz. I. Maktabah Syamilah upgread versi 3.25.
..., Juz. II. Maktabah Syamilah upgread versi 3.25.
al-Dzahabi, Muhammad Husain. Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid IV. Maktabah Syamelah, versi upgread 3.25.Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2004.
al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (terjemah). Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar. 2008.
Goldziher, Ignaz. Madzhab al-Tafsir al-Islami (Terjemah). Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010.
I
Suryadilaga, M. Alfatih. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2010.


[1] Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, Teras, Yogyakarta, 2004, hlm. 102.
[3] Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid IV, Maktabah Syamelah, versi upgread 3.25, hlm. 59.
[4] Dosen Tafsir Hadits…, hlm. 102.
[5] Ibid., hlm.104.
[7] Dosen Tafsir Hadits…, hlm. 105-106.
[8] Ibid., hlm.107.
[9] al-Dzahabi…, hlm. 3.
[10] Ibid., hlm. 3.
[12] M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, Teras, Yogyakarta, 2010, hlm. 87.
[13] Dosen Tafsir Hadits…, hlm. 108-109. Namun Jamal Mustafa al-Najjar mengkategorikan tafsir ini termasuk “jama’ah bain al-ma’tsur wa al-Ra’y” (menghimpun riwayat dan ijtihad).
[14] Tanah yang belum diinjak Ialah: tanah-tanah yang akan dimasuki tentara Islam.
[15] Dosen Tafsir Hadits…, 2004, hlm. 110-111. Lihat Tafsir al-Khazin Jilid V, hlm. 181-182.
وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَارَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ وَأَرْضًا لَمْ تَطَئُوهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرًا (27) يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (28) وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا (29)
وأورثكم أرضهم وديارهم وأموالهم وأرضاً لم تطؤوها } يعني بعد قيل هي خيبر ويقال إنها مكة وقيل فارس والروم وقيل هي كل أرض تفتح على المسلمين إلى يوم القيامة { وكان الله على كل شيء قديراً } .قيل كانت في آخر ذي القعدة سنة خمس . وعلى قول البخاري المتقدم في غزوة الخندق عن موسى بن عقبة أنها كانت في سنة أربع . قال العلماء بالسير إن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أصبح في الليلة التي انصرف الأحزاب راجعين إلى بلادهم انصرف صلى الله عليه وسلم والمؤمنون عن الخندق إلى المدينة ووضعوا السلاح ، فلما كان الظهر أتى جبريل عليه السلام رسول الله صلى الله عليه وسلم متعمماً بعمامة من إستبرق على بغلة بيضاء عليها رحالة وعليها من قطيفة من ديباج ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم عند زينب بنت جحش وهي تغسل رأسه وقد غسلت شقه فقال جبريل يا رسول الله قد وضعت السلاح؟ قال : « نعم قال : جبريل عفا الله عنك ما وضعت الملائكة السلاح منذ أربعين ليلة وما رجعت الآن إلا من طلب القوم » وروى أنه كان الغبار على وجه جبريل وفرسه فجعل النبي صلى الله عليه وسلم يمسح الغبار عن وجهه ووجه فرسه فقال إن الله تعالى يأمرك بالمسير إلى بني قريظة وأنا عامد إلى بني قريظة فانهز إليهم فإني قد قطعت أوتارهم وفتحت أبوابهم وتركتهم في زلزال وبلبال ، فأمر النبي صلى الله عليه وسلم منادياً فأذن أن من كان سامعاً مطيعاً فلا يصلين العصر إلا في بني قريظة ، وقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب برايته إليهم وابتدرهم الناس ، وسار علي حتى إذا دنا من الحصون سمع منها مقالة قبيحة لرسول الله صلى الله عليه وسلم فرجع حتى لقي رسول الله صلى الله عليه وسلم بالطريق فقال : يا رسول الله لا عليك أن لا تدنو من هؤلاء الأخابث . قال : « أظنك سمعت لي منهم أذى قال : نعم يا رسول الله قال : لو قد رأوني لم يقولوا من ذلك شيئاً فلما دنا رسول الله صلى الله عليه وسلم من حصونهم قال » يا أخوان القردة قد أخزاكم الله وأنزل بكم نقمته « . قالوا : يا أبا القاسم ما كنت جهولاً؛ ومر رسول الله صلى الله عليه وسلم على أصحابه بالصورين قبل أن يصل إلى بني قريظة فقال » هل مر بكم أحد؟ « فقالوا : يا رسول الله مر بنا دحية بن خليفة على بغلة بيضاء عليها رحاله وعليها قطيفة ديباج . فقال صلى الله عليه وسلم » ذاك جبريل عليه السلام بعث إلى بني قريظة يزلزل بهم حصونهم ويقذف الرعب في قلوبهم فلما أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم بني قريظة نزل على بئر من آبارها في ناحية أموالهم وتلاحق به الناس فأتاه رحال بعد صلاة العشاء الأخيرة ولم يصلوا العصر لقول النبي صلى الله عليه وسلم « لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة » «فصلو العصر بها بعد العشاء الأخيرة فما عابهم الله بذلك ولا عنفهم به رسول الله صلى الله عليه وسلم قال العلماء : حاصرهم رسول الله صلى الله عليه وسلم خمساً وعشرين ليلة حتى جهدهم الحصار ، وقذف الله في قلوبهم الرعب كان حيي بن أخطب دخل على بني قريظة حصنهم حين رجعت عنهم قريش وغطفان ووفى لكعب بن أسد بما كان عاهده ، فلما أيقنوا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم غير منصرف عنهم حتى يناجزهم قال كعب بن أسد يا معشر يهود إنكم قد نزل من الأمر ما ترون وإني عارض عليكم خلالاً ثلاثاً فخذوا أيها شئتم . قالوا : وما هن؟ قال نتابع هذا الرجل ونصدقه فوالله لقد تبين لكم أنه نبي مرسل وأنه الذي تجدونه في كتابكم فتؤمنون على دياركم وأموالكم وأبنائكم ونسائكم . فقالوا : لا نفارق حكم التوراة أبداً ولا نستبدل به غيره . قال : فإذا أبيتم هذه فهلم فلنقتل أبناءنا ونساءنا ثم نخرج إلى محمد وأصحابه رجالاً مصلتين بالسيوف ولا نترك وراءنا ثقلاً يهمنا حتى يحكم الله بيننا وبين محمد ، فإن نهلك نهلك ولم نترك وراءنا شيئاً نخشى عليه وإن نظهر فلعمري لنتخذن النساء والأبناء . قالوا : نقتل هؤلاء المساكين فما في العيش بعدهم خير . قال : فإن أبيتم هذه الليلة ليلة السبت وإنه عسى أن يكون محمد وأصحابه قد أمنوا فانزلوا فلعلنا أن نصيب من محمد وأصحابه غرة . قالوا : نفسد سبتنا ونحدث فيه ما لم يكن أحدث فيه من قبلنا إلا ما قد علمت فأصابهم من المسخ ما لم يخف عليك . قال : ما بات رجل منكم منذ ولدته أمه حازماً ليلة من الدهر ثم إنهم بعثوا إلى رسول الله صلى الله عليه سلم أن ابعث لنا أبا لبابة بن عبد المنذر أخا بن عمرو بن عوف وكانوا حلفاء الأوس نستشيره في أمرنا . فأرسله رسول الله صلى الله عليه وسلم إليهم . فلما رأوه قام إليه الرجال والنساء والصبيان يبكون في وجهه فرق لهم . فقالوا : يا أبا لبابة أترى أن ننزل على حكم محمد قال نعم وأشار بيده إلى حلقه أنه الذبح ، قال أبو لبابة فوالله ما زالت قدماي حتى عرفت أني قد خنت الله ورسوله ثم انطلق أبو لبابة على وجهه ولم يأت النبي صلى الله عليه سلم حتى ربط في المسجد إلى عمود من عمده وقال والله لا أبرح مكاني حتى يتوب الله علي مما صنعت وعاهد الله لا يطأ أرض بني قريظة أبداً ولا يراني الله في بلد قد خنت الله ورسوله فيه أبداً .
[16] Dosen Tafsir Hadits …, hlm. 111.
[17] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Terjemah), Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 2008, hlm. 443-444.
[18] Dosen Tafsir Hadits…, hlm. 112.
[19] Ignaz Goldziher, Madzhab al-Tafsir al-Islami (Terjemah), eLSAQ Press, Yogyakarta, 2010, hlm. 92.
[20] Imam `Alau al-Din `Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Bahgdadi, Tafsir al-Khazin, Juz. II, Maktabah Syamilah upgread versi 3.25, hlm. 493.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] al-Bahgdadi, Tafsir al-Khazin, Juz. I, Maktabah Syamilah upgread versi 3.25, hlm. 29.
[25] Ibid., Juz. II, Maktabah Syamilah upgread versi 3.25, hlm. 493.
[26] Ibid., Tafsir al-Khazin, Juz. I, Maktabah Syamilah upgread versi 3.25, hlm. 74.