Minggu, 11 November 2012

Tafsir Mu'tazilah

A. Sejarah Singkat Mu’tazilah Asal usul istilah mu’tazilah sebagai nama kelompok Islam tertentu masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan para pemikir sejarah. Adapun pendapat yang mashur mengatakan bahwa Mu’tazilah merupakan sebutan untuk kelompok yang dipelopori oleh Washil bin Atha’. Kelompok ini pada awalnya muncul dari perdebatan teologis antara Washil bin Atha dengan gurunya Hasan al Bashri. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan al-Bashri masih berfikirWashil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan engatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir tetapi mengambil possi diantara keduanya, tidak mu’min dan tidak kafir.” Kemudian dia berdiri dan menjauh dari Hasan al-Bashri pergi ke tempat lain di Masjid dan mengulangi pendapatnya tersebut. Atas peristiwa ini Hasan al-Bashri mengatakan, “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala’ anna).” Dengan demikian ia beserta teman-temannya dsebut kaum Mu’tazilah. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa orang yang pertama membina Mu’tazilah adalah Wasil bin Atha’. Wasil lahir tahun 81 H di madinah dan meninggal tahun 131 H. Disana ia belajar pada Abu Hasyim Abdullah Ibn Muhammad ibn al-Hanafiyah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-Basri. Semenjak meninggalkan Majelis Hasan al-Basri, Wasil bin Atha’ bersama rekannya, Amr bin Ubaid mengajarkan penafsiran teks yang beberapa dinilai berbeda dengan penafsiran umumnya. Hal ini dikarenakan mereka mengedepankan penafsiran dengan rasio (ra’yi). Diantara produk penafsiran yang menjadi prinsip utama kaun Mu’tazilah adalah: ajaran tentang Tauhid, keadilan Tuhan, janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id), tempat diantara dua tempat (manzilah baina al-manzilatain), dan mengerjakan yang baik dan melarang kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Selain itu semua, ada lagi prinsip utama Mu’tazilah yang memiliki kesamaan dengan kelompok Qadariyah yaitu kehendak bebas manusia (free will). Karena free will nya ini, Mu’tazilah sangat menjunjung tinggi Rasio. Sehingga, dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur’an mereka lebih mengutamakan sumber Rasio. Menurut mereka Wahyu seharusnya sesuai dengan rasio bukan sebaliknya. Apabila al-Qur’an tidak sesuai dengan Rasio maka harus dita’wilkan. Mu’tazilah dibawah binaan Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid semakin menemukan jalan terang menuju kejayaan. Dalam langkah-langkahnya mereka menemukan kesuksesan-kesuksesan. Pengikutnya semakin hari semakin bertambah. Sehingga mereka mampu mengambil perhatian kerajaan. Khalifah Yazid bin Walid terang-terangan mendukung Mu’tazilah dan selama masanya Mu’tazilah menjadi madzhab yang lebih diutamakan daripada madzhab-madzhab yang lain. Setelah dinasti Umayyah runtuh tahun 132/749, Mu’tazilah mendapatkan sambutan yang ramah dari dinasti Abasiyah. Khalfah kedua Abasiyah, al-Mansur merupakan teman kecil Amr bin Ubaid dan sekaligus pengikut Mu’tazilah. Pada masa pemerintahannya, al-Mansur (754-77M) selalu mendukung Mu’tazilah dengan segala kegiatan ilmiyahnya. Bahkan dia sendiri juga turut mendengungkan agar kebudayaan dan ilmu pengetahuan terus di kembangkan. Buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan dari India, Persia, Syria, dan Yunani harus diterjemahkan dalam bahasa Arab. Penerjemahan tersebut diadakan dibawah komando dan didanai oleh Negara. Ketika al-Makmun (813-833 M) diangkat menjadi Khalifah, Mu’tazilah masih tetap mendapatkan kehormatan yang tinggi. Sebagimana yang diungkapkan oleh Saeed Shaikh, Al-Makmun, sering turut mendengarkan perdebatan antar agama. Dia memberikan kebebasan berfikir dan berpendapat kepada mereka. Dalam perdebatan-perdebatan tersebut, Mu’tazilahlah yang sering tampil menjadi pemenang. Sehingga menunjukkan bahwa Mu’tazilah merupakan Protector Islam dari serangan-serangan luar. Dari pemaparan Saeed Shaikh tersebut penulis menemukan hal yang nampak kontradiksi. Banyak refrensi lain yang mengatakan bahwa al-Makmun tidak begitu memberikan kebebasan berfikir. Hal ini terbukti dengan adanya peristiwa al-mihnah. Al-Mihnah merupakan kebijakan khalifah al-Makmun untuk memaksakan kepercayaan bahwa al-Qur’an adalah firman yang diciptakan (makhluk) oleh karena itu bersifat baru dan tidak abadi. Hal ini merupakan bukti nyata akan sikap fanatisme al-Makmun terhadap Mu’tazilah. Al-Makmun, sebagai penganut Mu’tazilah yang fanatic, terpanggil untuk melaksanakan salah satu dari “lima prinsip pokok” (al-ushul al-khamsah) yaitu al-amar bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar secara konsekuen dengan menggunakan tangan kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga al-mihnah sesungguhnya merupakan suatu aplikasi atas salah satu doktrin Mu’tazilah. Lebih dari pada itu, oleh karena Abbasiyah menganut sistem teokrasi, para Khalifah merasa dirinya yang paling bertanggungjawab menjaga keimanan (aqidah) umat dari faham syirik serta mengembalikannya pada paham tauhid yang murni sesuai dengan tuntunan al-Qur’an tersebut menghendaki seluruh warga Negara Muslim, terutama aparatur pemerintah dalam semua tingkatannya, benar-benar memelihara diri dari hal-hal yang merusak keyakinannya. Dalam pandangan pemerintah kepercayaan umat Islam akan paham “al-Qur’an Qadim” adalah cenderung pada interpretasi yang menjurus syirik, satu-satunya dosa besar yang tidak terampuni (QS, 4: 48), karena hal itu identik dengan mempersekutukan ke qadiman Tuhan kepada selain-Nya. Sebaliknya, pengakuan bahwa al-qur’an makhluk, dalam arti tidak qadim, merupakan cirri keimanan yang sejati. Dari fakta sejarah tersebut, jelaslah bahwa pemikiran maupun penafsiran al-Qur’an Mu’tazilah tidak bisa terlepas dari intervensi rezim yang berkuasa. Hal ini tidak hanya terjadi pada Mu’tazilah saja, kelompok-kelompok lainpun juga tidak bisa terlepas dari pengaruh politik yang menyelubunginya. Tidak lama setelah al-mihnah, pada masa al-Mutawakil (847-861M), Mu’tazilah menemukan jalan buntunya. Berbeda dengan al-Makmun, al-Mutawakil lebih memilih aliran Salaf yang mendukung sunnah (tafsir bi al ma’tsur) daripada alran Rasionalisme (tafsir bi al ra’yi). Disebabkan hal tersebut, Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali naik daun. Semenjak itulah aliran Rasionalisme dalam Islam mulai meredup dan termarjinalkan. B. Ideologi Tafsir Mu’tazilah Sebelum membahas lebih jauh tentang Ideologi tafsir Mu’tazilah terlebih dahulu penting untuk dipahami apa yang dimaksud tafsir Mu’tazilah di sini. Tafsir mu’tazilah yang dimaksud disini adalah segala hal yang berkaitan dengan penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh para pngikut aliran mu’tazilah. Jadi, term tafsir disini bukan berarti tafsir sebagai produk penafsiran, akan tetapi lebih kepada segi metodologinya. 1. Pandangan Mu’tazilah terhadap Wahyu Hal mendasar dari prinsip penafsiran Mu’tazilah adalah pandangan mereka terhadap wahyu. Harun Nasution mengatakan bahwa, Mu’tazilah memandang turunnya wahyu dari Tuhan kepada manusia memiliki dua fungsi yaitu fungsi konfirmasi dan informasi. Pertama fungsi konfirmasi. Fungsi ini mengandung pemahaman bahwa Wahyu (al-Qur’an) turun berfungsi untuk memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal. Bagi Mu’tazilah, akal manusia pada dasarnya mampu mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat, mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan, dan mengetahui kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Pengetahuan-pengetahuan tersebut juga bisa ditemukan pada al-Qur’an. Dengan kata lain pengetahuan-pengetahuan akal tersebut dikonfirmasi oleh al-Qur’an. Kedua fungsi informasi. Menurut Abd al-Jabar, sebagaimana telah dikutip oleh Harun Nasution bahwa pada kenyataannya akal tidak dapat mengetahui semua yang baik. Begitu juga akal hanya dapat mengetahui kewajiban-kewajiban garis besarnya, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup diakhirat nanti, mauun mengenai hdup manusia di dunia. Dari itu dibutuhkan wahyu untuk menyempurnakan kelemahan akal tersebut. Contohnya pengetahuan tentang kejahatan berdusta dan tidak adil itu dapat diketahui langsung dari akal. Sedangkan kejahatan seperti berzina, minum-minuman keras itu hanya bisa diketahui melalui wahyu. Dari uraian diatas dapatlah diambil pemahaman bahwa mu’tazilah lebih cenderung memilih epistemology burhani , akan tetapi juga tidak menafikan bayani . 2. Ideologi Penafsiran Mu’tazilah Dalam membentuk visinya, Mu’tazilah merumuskan beberapa tesis yang dijadikan Ideologi penafsiran. Ideologi tersebut disusun dengan model theology yang berasaskan rasionalisme yang kuat. Meskipun demikian Ideologi teologis ini juga tidak terlepas dari penafsiran mereka terhadap al-Qur’an itu sendiri. Sebagamana disinggung pada sejarah diatas bahwa Mu’tazilah memiliki lima prinsip dasar (al-ushul al-Khamsah). Lima dasar tersebutlah yang menjadi Ideologi pemikiran kaum Mu’tazilah. Tidak terkecuali dalam menafsirkan al-Qur’an mereka juga berpijak pada lima dasar itu. Terkait hal ini, Hambawang menjelaskan, “Mereka (Mu’tazilah) meletakkan kaidah-kaidah tersebut terlebih dahulu, kemudian di atasnya mereka membangun madzhab i'tizal mereka itu, kemudian setelah itu mereka berusaha untuk menundukkan ayat-ayat al-Qur'an, dan merumuskan daripadanya dalil-dalil yang menguatkan kelima prinsip mereka itu.” Dari uraian tersebut jelaslah Mu’tazilah merupakan kelompok rasionalis yang liberal. Jika dilihat dari argument-argumennya tentang lima prinsip tersebut, akan terlihat kecenderungannya memenangkan akal daripada al-Qur’an secara tekstual. Adapun kelima prinsip tersebut adalah: 1. Keesaan Tuhan (tauhid). Bagi Mu’tazilah, keesaan Allah sudah final. Mereka berpandangan bahwa sifat-sifat Allah adalah tidak lain dari hakikatnya sendiri. Orang yang percaya bahwa sifat-sifat Allah itu terpisah dari hakikat-Nya dan berdiri sendiri, tentunya percaya akan “kemajemukan” ajaran monoteisme. Makadari itu keesaan Allah berarti tidak ada yang kekal dan qadim selain Allah. Kosep tauhid Mu’tazilah tersebut sangat berpengaruh pada pandangannya terhadap al-Qur’an. Menurutnya al-Qur’an adalah makhluk Allah bukan Kalam Allah. Hal itu dikarenakan jika al-Qur’an merupakan Kalam Allah, maka al-Qur’an bersifat qadim. Mustahi bagi mu’tazilah ada bila dua keqadiman Yaitu Allah dan Kalamnya (al-qur’an). jelas itu menyalahi konsep monoteismenya. 2. Keadilan Tuhan (al-adl). Tafsiran Mu’tazilah mengenai pengertian keadilan adalah bahwa Allah SWT, wajib berbuat adil dan mustahil jika tidak adil. Allah harus menggajar orang yang benar dan menghukum yang salah. Mustahil dihari kiyamat orang akan lolos dari hukuman dan orang yang benar tidak memperoleh pahla. Allah SWT, tidak adil jika berbuat demikian. 3. Janji dan ancaman (al-waad wa al-Wa’id). Janji dan ancaman ini merupakan salah satu konsakuensi dari pemahaman Keadilan Tuhan di atas. Allah pasti menepati janji dengan memberikan surga kepada yang berbuat baik dan pasti juga mewujudkan ancamannya dengan memberikan neraka kepada pelaku dosa. 4. Tempat diantara dua tempat (manzilah baina al-manzilatain). Posisi ini sering dikaitkan dengan orang yang fasiq (yaitu orang yang berbuat dosa besar misalnya saja minum-minuman keras, pezina, pedusta, dan sebagainya) bukanlah orang yang beriman dan bukan pula orang kafir. Dengan demikian, Fasiq merupakan diantara iman dan kafir. 5. Menganjurkan kepada kebaikan dan menncegah kepada kemungkaran (Amar ma’ruf nahi munkar). Pandangan Mu’tazilah mengenai kewajiban Islam ini. adalah sbahwa syari’at bukanlah satu-satunya jalan untuk mengidentifikasi mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Akal manusia, setidak-tidaknya sebagian, dapat mengidentifikasikan sendiri berbagai jenis kemakrufan dan kemungkaran. Dari lima prinsip tersebut dua prinsip yang awalah yang menjadi prinsip utama. Tiga prinsip yang lain baru berarti karena memberi ciri Mu’tazilah, Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Khairuman, “Paham keesaan dan keadilah (¬al-tauhid dan al-adl) menjadi tesis pertama madzhab Mu’tazilah dan sekaligus menjadi nama lain dari mu’tazilah.” Kelima prinsip tersebutlah yang menjadi tolok ukur penafsiran Mu’tazilah. Sebelum mengeluarkan produk penafsiran harus diyakinkan terlebih dahulu bahwa penafsirannnya sesuai dengan lima prinsip tersebut. Apabila orang tidak sejalan dengan prinsip tersebut meskipun cuma satu saja maka sudah dianggab bukan kelompok Mu’tazilah. C. Kitab Tafsir Mu’tazilah Sebagaimana telah terpaparkan pada sejarah di atas, bahwasannya Mu’tazilah merupakan Salah satu sekte Islam yang gemar mengembangkan ilmu pengetahuan. Sekte ini juga gemar diskusi ilmiyah dan juga berdebat theology. Dari itu tentu, pada zamannya, muncul banyak pemikir tafsir al-Qur’an. diantara para mufassir Mu’tasilah adalah: Imam Abu Bakr al-Ashamm, Imam Abu'Ali al-Jabany, Abul Qasim al-Balkhy, Imam Abu Muslim bin Bahr al-Ashfahany, Imam al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamzany, Imam asy-Syarif al-Murtadha al-'Alim asy-Syi'iy al-'Alawy, Imam Abul Qasim Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari. Diantara para mufassir Mu’tazilah tersebut banyak karya-karyanya yang tidak bisa kita jumpai pada masa sekarang. Adapun satu-satunya kitab Tafsr Mu’tazilah utuh satu al-Qu’an yang bisa kita pegang adalah kitab al-Kasysyaf an Haqa’iq al-Tanzil Uyun al-Aqawi fi Wujuh al-Ta’wil , karya Imam Abul Qasim Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari (w.538 H). Selain itu, Imam al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamzany, (w.415 H). Beliau telah menyusun kitab tafsirnya yang berjudul Tanzihul Qur'an' 'anil Matha'in. Kitab ini beredar di kalangan ulama, tetapi kandungannya tidak meliputi keseluruhan isi al-Qur'an. D. Metode Penulisan dan Corak Tafsir Mu’tazilah Tidak menutup kemungkinan tentang adanya model metode penulisan yang beragam pada Tafsir Mu’tazilah di zamannya. Akan tetapi, terkait hal tersebut kami tidak menemukan jelasnya metode apa saja yang digunakan. Jika dilihat dari kitab tafsir al-Kasysyaf sebagaimana yang dijelaskan Fauzan Naif bahwa kitab tersebut dituliskan berdasarkan tartib mushafi, yaitu berdasarkan surat dan ayat dalam Mushaf Usmani, terdiri dari 30 juz berisi 144 surat dimulai dengan surat al-Fatihah diakhiri dengan surat al-Nas. Setiap surat diawali dengan basmalah kecuali surat al-Taubah. Dengan kata lain metode yang digunakan oleh al-Zamaksari dalam kitabnya tersebut adalah metode tahili. Hal ini juga membawa kesimpulan bahwa Mu’tazilah juga mengembang kan penafsiran al-Qu’an dengan metode tahlili. Jika dilihat dari produk / materi tafsirnya, secara umum Mu’tazilah kental dengan nuansa atau corak teologis (kalam). Hal ini juga dapat dilihat dari kacamata sejarah bahwa Mu’tazilah merupakan aliran kalam terbesar pada masanya. Predikat protector Islam merupakan bukti akan keberhasilannya dalam berargumentasi melalui ra’yinya dengan al-Qur’an. Sedangkan metodologi dominan (corak metodologis) yang digunakan dalam tafsir Mu’tazilah adalah metode linguistik (ilmu bahasa). Hal ini sebagaimana yang di paparkan oleh Goldziher: “Usaha-usaha yang disuguhkan al-Murtadha dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, kerap bersandar kepada pemimpin lama Mu’tazilah Abi Ali al-Juba’i. ia sangat menyukainya karena menggunakan kerangka perspektif linguistic. Inilah prinsip yang sangat penting sejak awal penafsiran Mu’tazilah. Mereka memahami ungkapan-ungkapan yang menunjukkan pada tasybih, atau hal yang tidak pantas dengan kedudukan Tuhan, dengan pentakwilan-pentakwilan yang lebih banyak dan jauh dari tasybih, disertai bukti-bukti linguistic (dari syair-syair klasik). Dalam eksplorasinya, mereka berusaha sekuat tenaga untuk selalu berjalan pada prinsip yang tetap dalam bahasa.” Kajian-kajian kebahasaan tersebut juga sering dihubungkan dengan tafsir teologis. hal ini sebagai mana yang dikutib Goldziher dari Abu Qasim Ali bin Thahir bahwa ia membenarkan atas adanya kompromi tafsir dengan teori-teori aliran Mu’tazilah. Corak tasir linguistik yang mengerah pada teologies tersebut juga terdapat pada kitab tafsir al-Kasysyaf. Jika dilihat Tafsir ini di dalamnya penuh dengan romantika balaghah (kajian pilologi) serta kental dengan unsur-unsur teologi mu’tazilah. Tafsir ini termasuk tafsir apologis, yang menjadikan Qur’an sebagai alat legitimasi demi kepentinga pribadi, mazhab dan golongan. Metode mereka rata-rata lebih banyak berdasar pada asumsi ungkapan Majazi. E. Pendekatan Penafsiran Mu’tazilah Dilihat dari sumber tafsirnya, jelas, secara umum Mu’tazilah menggunakan epistemologi tafsir bi al-ra’yi. Meskipun nuansa linguistik cukup dominan digunakan, akan tetapi linguistic tersebut lebih kental dengan kajian balaghah yang tujuannya untuk mentakwilkan makna teks yang tidak sesuai dengan akal. Dengan demikian secara Umum pendekatan yang digunakan Tafsir Mu’tazilah adalah pendekatan subjektif. Pendekatan subyektif adalah pendekatan yang terkait dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Pada tafsir Mu’tazilah Nuansa pembelaan kepentingan golongan atau madzhabnya juga sangat kental. Hal ini minimal terbukti dari kekonsitenannya dalam mempertahankan al-ushul al-khamsah-nya. Kaum Mu’tazilah, dalam pandangan mereka itu, selalu berpedoman hanya pada akal, bahkan menjadikan para Nabi sebagai hujjah (bukti) atas kebenaran risalah ilahiyah, yaitu bahwa mereka (para Nabi) itu diutus oleh Allah untuk bertindak dengan menggunakan bukti-bukti akal dan para argumentasinnya. Adapun manfaat paling besar yang diambil Mu’tazilah dari persyaratan mereka dalam penafsiran Al-Quran yang sesuai dengan akal mengenai kebenaran-kebenaran agama adalah perlawanan mereka terhadap konsep-konsep khurafat (mitos) yang bertentangan dengan akal yang mana hal tersebut telah mapan pengaruhnya dalam agama. F. Contoh Penafsiran Mu’tazilah Berikut contoh penafsiran Mu’tazilah diambil dari kitab al-Kasysyaf karya al-Zamaksari. لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19) كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ (20) وَتَذَرُونَ الْآخِرَةَ (21) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23) وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ (24) تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ (25) الضمير في { بِهِ } للقرآن . وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا لقن الوحي نازع جبريل القراءة ، ولم يصبر إلى أن يتمها ، مسارعة إلى الحفظ وخوفاً من أن يتفلت منه ، فأمر بأن يستنصت له ملقياً إليه بقلبه وسمعه ، حتى يقضى إليه وحيه ، ثم يقفيه بالدراسة إلى أن يرسخ فيه . والمعنى : لا تحرّك لسانك بقراءة الوحي ما دام جبريل صلوات الله عليه يقرأ { لِتَعْجَلَ بِهِ } لتأخذه على عجلة ، ولئلا يتفلت منك . ثم علل النهي عن العجلة بقوله { إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ } في صدرك وإثبات قراءته في لسانك { فَإِذَا قرأناه } جعل قراءة جبريل قراءته : والقرآن القراءة { فاتبع قُرْءَانَهُ } فكن مقفياً له فيه ولا تراسله ، وطأمن نفسك أنه لا يبقى غير محفوظ ، فنحن في ضمان تحفيظه { ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ } إذا أشكل عليك شيء من معانيه ، كأنه كان يعجل في الحفظ والسؤال عن المعنى جميعاً ، كما ترى بعض الحراص على العلم؛ ونحوه { وَلاَ تَعْجَلْ بالقرءان مِن قَبْلِ إَن يقضى إِلَيْكَ وَحْيُهُ } [ طه : 114 ] ، { كَلاَّ } ردع لرسول الله صلى الله عليه وسلم عن عادة العجلة وإنكار لها عليه ، وحثّ على الأناة والتؤدة ، وقد بالغ في ذلك بإتباعه قوله : { بَلْ تُحِبُّونَ العاجلة } كأنه قال : بل أنتم يا بني آدم لأنكم خلقتم من عجل وطبعتم عليه تعجلون في كل شيء ، ومن ثم تحبون العاجلة { وَتَذَرُونَ الأخرة } وقرىء بالياء وهو أبلغ فإن قلت : كيف اتصل قوله { لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ } إلى آخره ، بذكر القيامة؟ قلت : اتصاله به من جهة هذا للتخلص منه ، إلى التوبيخ بحب العاجلة ، وترك الأهتمام بالآخرة . الوجه : عبارة عن الجملة والناضرة من نضرة النعيم { إلى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ } تنظر إلى ربها خاصة لا تنظر إلى غيره ، وهذا معنى تقديم المفعول ، ألا ترى إلى قوله : { إلى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ المستقر ( 12 ) } [ القيامة : 12 ] ، { إلى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ المساق ( 30 ) } ، { إِلَى الله تَصِيرُ الامور } [ الشورى : 53 ] ، { وإلى الله المصير } [ آل عمران : 28 ] ، { وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ } [ البقرة : 245 ] ، { عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ } [ هود : 88 ] ، كيف دلّ فيها التقديم على معنى الاختصاص ، ومعلوم أنهم ينظرون إلى أشياء لا يحيط بها الحصر ولا تدخل تحت العدد في محشر يجتمع فيه الخلائق كلهم ، فإنّ المؤمنين نظارة ذلك اليوم لأنهم الآمنون الذين لا خوف عليهم ولا هم يحزنون ، فاختصاصه بنظرهم إليه لو كان منظوراً إليه : محال ، فوجب حمله على معنى يصح معه الاختصاص ، والذي يصح معه أن يكون من قول الناس : أنا إلى فلان ناظر ما يصنع بي ، تريد معنى التوقع والرجاء . ومنه قول القائل : وَإذَا نَطَرْتُ إلَيْكَ مِنْ ملك ... وَالْبَحْرُ دُونَكَ زِدْتَني نِعَمَا وسمعت سروية مستجدية بمكة وقت الظهر حين يغلق الناس أبوابهم ، ويأوون إلى مقائلهم ، تقول : عيينتي نويظرة إلى الله وإليكم ، والمعنى : أنهم لا يتوقعون النعمة والكرامة إلا من ربهم ، كما كانوا في الدنيا لا يخشون ولا يرجون إلا إياه ، والباسر : الشديد العبوس ، والباسل : أشد منه ، ولكنه غلب في الشجاع إذا اشتد كلوحه { تَظُنُّ } تتوقع أن يفعل بها فعل هو في شدّته وفظاعته { فَاقِرَةٌ } داهية تقصم فقار الظهر ، كما توقعت الوجوه الناضرة أن يفعل بها كل خير . DAFTAR PUSTAKA Abdul ‘Adzim al-ZarQany, Muhammad. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. juz 2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby. 1995. Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam III. Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1963 Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Moderen. Yogyakarta: Elsaq Press. 2006. Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. 2004. Muhammad, Abul Qasim bin Umar az-Zamakhsyari. al-Kasysyaf. juz 7. (Maktabah syamilah). Muhammad Abu Zahrah, Imam. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Penerjemah Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta: Logos Publising House. 1996. Muthahhari, Murtadha. Mengenal Ilmu Kalam, penerjemah Ilyas Hasan. Jakarta: Pustaka Zahra. 2002. Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. 1986. Saeed Shaikh, M. Studies in Muslim Philosophy. Delhi: Shah Offset Printer. 1994. Suryadilaga , M. Alfatih, Dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2010. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008. Hambawang, Metode Tafsir Mu’tazilah, http://hambawang.blogspot.com/2009/06/metode-tafsir-mutazilah.html diakses pada 11 april 2012, Pukul 12:53 WIB.